REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia bekerja sama dengan Persatuan Umat Buddha Indonesia Permabudhi menyelenggarakan Peluncuran dan Lokakarya Panduan Ajaran Agama serta Buku Rumah Ibadah, yang digelar secara hybrid di Gedung PT. Mekar Armada Investama, Jakarta dan melalui Zoom, belum lama ini.
Kegiatan ini menghadirkan para anggota dan pengurus Permabudhi, Perwakilan Lembaga-lembaga di bawah naungan Permabudhi, Organisasi Pemuda Budha dan tokoh-tokoh keagamaan Buddha, untuk memperkuat peran institusi keagamaan dalam perlindungan hutan tropis serta pengakuan hak masyarakat adat.
Prof. Dr. Philip Kuntjoro Widjaja, Ketua Umum Permabudhi sekaligus anggota Advisory Council IRI Indonesia, menegaskan hutan tropis merupakan warisan tak ternilai yang harus dijaga bersama sebagai bagian dari tanggung jawab moral umat manusia. Philip juga menyampaikan dukungan penuh Permabudhi terhadap gerakan IRI yang menggalang kolaborasi lintas agama demi kelestarian hutan tropis dan lingkungan hidup. Dia membuka kegiatan ini dengan melakukan serah terima simbolik dua buku panduan IRI dan dua buku khotbah yang ditulis oleh tokoh agama Buddha melalui kerja sama dan difasilitasi IRI Indonesia.
Lebih lanjut, Philip dalam paparannya yang berjudul Hutan Tropis, Deforestasi, dan Perubahan Iklim: Keterkaitan yang Kritis menegaskan hutan tropis adalah warisan bersama yang wajib dijaga, sebuah aksi moral untuk survival bersama. Ia menyampaikan deforestasi, perubahan iklim, dan pelanggaran hak masyarakat adat merupakan krisis yang saling terkait. Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk bersatu bergerak, mengingat komunitas agama memiliki otoritas moral, jaringan, dan pengaruh yang unik untuk mendorong perubahan kebijakan. “Tindakan kita hari ini menentukan masa depan bumi,” tegas dia.
IRI Indonesia, Dr. Hayu Prabowo, menegaskan bahwa perubahan perilaku untuk menyelamatkan lingkungan membutuhkan suara moral yang kuat. “Sains memberi kita data dan teknologi, tapi untuk menggerakkan masyarakat, kita butuh kekuatan nilai-nilai agama,” ujarnya.
Hayu menyoroti bahwa lebih dari 95% bencana di Indonesia berkaitan langsung dengan krisis iklim yang diperparah oleh deforestasi. Gerakan lintas agama ini diharapkan mampu melahirkan kebijakan berbasis sains dan etika spiritual demi keberlanjutan hidup.
Dengan lebih dari 10 juta hektar hutan primer yang hilang dalam dua dekade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar akibat deforestasi, perubahan iklim, dan lemahnya perlindungan wilayah adat. Dia berharap, kegiatan ini menjadi momentum penting dalam menggerakkan kekuatan moral komunitas agama untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian hutan tropis dan memperjuangkan keadilan ekologis bagi seluruh makhluk hidup.