
Jam menunjukkan pukul 13.20 WIB. Udara terasa pengap begitu kumparan melangkah ke dalam ruang kelas yang padat. Kursi-kursi tersusun rapat, menyisakan sedikit ruang gerak di antara barisan.
Di dalam kelas berukuran sekitar 7 x 9 meter itu, 44 siswa kelas X SMAN 1 Karawang duduk berhimpitan, mencari celah untuk berkonsentrasi.
Fasilitas AC dalam kelas itu rupanya tak cukup kuat menjangkau barisan para siswa. Mereka tampak mengelap keringat--menahan suasana sesak, panas, dan melelahkan.
Seorang siswi kelas X misalnya, mengaku cukup kegerahan saat berada di kelas. Terlebih ketika siang hari, angin panas dari luar semakin menambah sumpek suasana kelas.
"Kalau merasa gerah, ya pasti merasa gerah, karena suasananya itu banyak banget. Jadi kayak kelasnya itu agak nggak leluasa," ucap dia, Rabu (23/7).
Kendati demikian, secara pribadi dia mengaku masih mampu berkonsentrasi untuk menyerap pelajaran yang dipaparkan oleh gurunya.
"Soalnya yang kayak gitu kan gimana masing-masing sih ya. Aku sih masih ngerti," sambungnya.

Dia berharap padatnya jumlah siswa di kelas bisa diimbangi dengan fasilitas mendukung berupa penambahan AC. Saat ini di kelasnya hanya 1 AC.
"Karena agak panas pengennya AC ditambah, mungkin itu," ujarnya.
Penambahan dari 81 siswa kurang mampu
Senada, Staf Humas SMAN 1 Karawang, Ondih Suhendi mengakui padatnya jumlah siswa dalam kelas mempengaruhi konsentrasi belajar siswa.
Sebagai guru kelas X, Ondih tahu persis bagaimana sulitnya memberikan pelajaran di dalam kelas yang diisi banyak murid.
"Sumpek mah ya sumpek, cuma kita kan melaksanakan kewajiban," katanya.
Dia menyebutkan, di tahun ajaran 2025/2026 sekolahnya menyerap sebanyak 441 siswa baru.

Sebanyak 360 siswa diserap dari jalur afirmasi, domisili, KETM dan prestasi. Sementara 81 siswa lainnya berasal dari jalur Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS).
Jalur PAPS merupakan program afirmasi yang diinisiasi Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang membolehkan setiap kelas atau rombongan belajar (rombel) diisi maksimal 50 siswa.
"Kalau biasanya dari tahun-tahun kemarin per kelas maksimal 36 siswa, sekarang bertambah jadi 44 siswa," paparnya.
Adanya kebijakan tersebut, kata Ondih, tak serta merta membuat sekolah memutuskan untuk membangun ruang kelas baru karena keterbatasan anggaran.
"Nggak ada (penambahan kelas). Ya gitu dua tahun ke belakang nggak ada iuran komite, jadi buat keuangan susah juga," jelasnya.