
MANAGING Director Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam berpendapat fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga ratusan persen oleh sejumlah kepala daerah merupakan indikasi menguatnya kecenderungan “jalan pintas” fiskal.
Kebijakan yang memicu instabilitas politik dan keamanan lokal seperti di Kabupaten Pati - Jawa Tengah, Bone - Sulawesi Selatan, dan daerah lainnya dilakukan di tengah sistem desentralisasi. Padahal, selama ini, desentralisasi justru diharapkan mampu melahirkan inovasi kebijakan strategis di tingkat daerah.
"Alih-alih mengoptimalkan beragam potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis ekonomi lokal, kebijakan seperti ini justru menunjukkan pola pikir dangkal dan pragmatis yang tampaknya dilatarbelakangi oleh tiga faktor utama," kata Khoirul dalam keterangan yang diterima, Jumat (15/8).
Berawal dari Pilkada
Faktor pertama, katanya, adalah semakin tidak terbendungnya pola politik transaksional dan politik berbiaya tinggi (high-cost politics) dalam Pilkada langsung. Hal itu mendorong kepala daerah terpilih langsung mencari sumber pembiayaan cepat pascaterpilih.
Kedua, efisiensi anggaran negara melalui pemotongan Dana Transfer Daerah hingga 50% yang dilakukan belakangan ini. Itu memaksa daerah mencari sumber penerimaan baru, namun dangkal dan tidak inovatif.
Ketiga, kepala daerah yang memang tidak didesain untuk menghadirkan model pembangunan berkelanjutan di level daerah cenderung menciptakan “instrumen fiskal instan” yang dapat langsung mereka “mainkan”, meski akhirnya membebani rakyat.
Belajar dari apa yang terjadi di Pati, Bone dan daerah-daerah lainnya, Khoirul menyebut kebijakan penaikan PBB secara ekstrem, tanpa mitigasi dan partisipasi publik yang memadai, sangat rawan menciptakan instabilitas sosial-politik lokal.
Lebih dari itu, kenaikan PBB yang tidak disertai transparansi dan akuntabilitas penerimaan daerah, skema penaikan pajak lokal itu juga berpotensi menjadi celah korupsi baru melalui manipulasi laporan pajak daerah. Hal tersebut ditengarai menggantikan praktik jual beli jabatan yang selama ini marak terjadi hingga merusak sistem merikrasi, prinsip dasar akuntabilitas, dan moril tata kelola pemerintahan lokal.
"Untuk kesekian kalinya, fenomena ini mencerminkan problem struktural desentralisasi pascareformasi yang belum mampu memastikan prinsip local good governance. Banyak daerah masih mengandalkan instrumen fiskal represif ketimbang inovasi kebijakan produktif," paparnya.
Tugas Pemerintah Pusat dan Parpol
Menurutnya, hal tersebut menjadi PR bersama, terutama bagi pemerintah pusat (Kemendagri) untuk mengawal ketat setiap kebijakan lokal. Selain itu mendorong lahirnya berbagai inovasi kebijakan strategis yang mampu memberdayakan mengoptimalkan berbagai potensi ekonomi daerah, bukan yang menekan daya beli rakyat.
"Kondisi ini juga menjadi tugas bagi partai politik, untuk memperbaiki proses rekrutmen kepala daerah untuk lebih berbasis kompetensi, integritas, dan visi pembangunan yang berkelanjutan," ujar Khoirul.
"Jika langkah korektif ini tidak dilakukan, sistem desentralisasi akan gagal memaksimalkan potensinya sebagai motor kemajuan daerah, dan justru melanggengkan praktik kebijakan fiskal yang dangkal, minim pemberdayaan ekonomi lokal, dan justru mengorbankan rakyat demi kepentingan jangka pendek," pungkasnya. (M-1)