Jakarta, CNBC Indonesia - Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, pelaku industri menerima kabar buruk. Padahal seharunya, turut bergembira merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2025 kemarin.
Dia menyampaikan hal itu merespons pengumuman adanya pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi sektor industri. Alasan yang disampaikan, menurut Febri, tak masuk akal. Hal itu diungkapkannya dalam keterangan resmi, Minggu (17/8/2025). Pembatasan itu, sebut Febri, menimbulkan kegelisahan di kalangan investor sektor manufaktur di Tanah Air.
"Pada momen HUT ke-80 RI, seharusnya seluruh rakyat Indonesia, termasuk pelaku industri, dapat bergembira. Namun, kabar pembatasan HGBT justru menimbulkan luka dan membuat industri kembali memaknai arti kemerdekaan," dikutip dari keterangan resmi, Senin (18/8/2025).
Menurut Febri, gas bumi memiliki peran vital, baik sebagai bahan baku maupun sumber energi dalam proses produksi. Khususnya pada industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet termasuk di antara penerima manfaat program HGBT, yang selama ini ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden dengan harga sekitar US$6,5 per MMBTU.
Febri juga membandingkan, pasokan gas harga di atas US$ 15 - 17 per MMBTU masih lancar.
"Ini yang mengherankan. Pasokan gas harga diatas US$ 15-17 lancar. Tapi, pasokan gas US$ 6,5 tidak lancar. Jika terjadi pengetatan, harga melonjak hingga US$ 15-17 per MMBTU. Ini kan aneh. Mesin-mesin produksi bisa terpaksa dihentikan, dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar," tutur Febri.
Febri menambahkan, pembatasan HGBT tidak hanya mengancam kelangsungan produksi, tetapi juga berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan hingga penutupan usaha dan PHK pekerja industri.
Selain itu juga ada potensi PHK yang terjadi. Karena ada 100 ribu pekerja di sektor industri penerima manfaat insentif HGBT.
"Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan,"tegasnya.
Febri juga melihat daya saing produk Indonesia bisa terancam, jika pelaku usaha harus menggunakan gas yang lebih mahal. Untuk itu dia menekankan kestabilan harga pasokan energi merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan industri.
Dia mengatakan, alasan keterbatasan pasokan gas tidak masuk akal.
"Kalau memang pasokan terbatas, mengapa industri masih bisa membeli gas ketika harganya melonjak hingga US$17 per MMBTU? Kalau gas harga US$6,5 pasokannya terbatas. Ini patut dipertanyakan," ujar Febri.
Kata dia, meski negara kehilangan sebagian pendapatan dari program HGBT, nilai tambah yang dihasilkan dari produk hilir jauh lebih besar.
"Setiap Rp1 yang hilang di hulu bisa dikompensasi Rp 3 dari penciptaan nilai tambah diproduk hilir industri pengguna HGBT. Karena itu, lebih bijak bila pendapatan negara difokuskan pada pajak produk hilir hasil hilirisasi gas HGBT ini, bukan pada gas di hulu," tukas Febri.
Begini Respons Kementerian ESDM
Sebelumnya Kementerian ESDM sudah menjelaskan terkait kabar terbatasnya pasokan gas, khususnya untuk industri di kawasan Jawa Barat.
Hal itu disinyalir karena adanya kebakaran di stasiun pengumpul gas di Subang yang dikelola PT Pertamina EP Subang Field.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terkait kondisi pasokan gas.
Menurutnya, ini terjadi karena adanya insiden kebakaran di Gas Line CO2 Removal stasiun pengumpul yang terletak di Desa Cidahu, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
"Kita dari ESDM itu sudah melakukan pembahasan dengan perusahaan K3S dan juga dengan SKK Migas. Kemarin itu kan ada persoalan insiden yang di Subang," ungkap Yuliot saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Atas insiden tersebut, produksi gas dari Pertamina mengalami penurunan produksi, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan industri.
"Itu kan mengurangi tingkat produksi sekitar 16 MMBTU. Jadi dengan kondisi seperti itu, kita harus mengembalikan tingkat produksi," katanya.
Pihaknya juga sudah melakukan koordinasi dengan Pertamina agar produksi gas di stasiun pengumpul PT Pertamina EP Subang Field bisa kembali seperti semula agar kebutuhan gas industri dapat terpenuhi.
Seperti diketahui, pada Selasa, 5 Agustus 2025, sekitar pukul 04.30 WIB telah terjadi insiden kebakaran di gas line CO2 removal yang terjadi di Stasiun Pengumpul Subang, Desa Cidahu, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang, Jawa Barat
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Terbaru: Manufaktur RI Melambat, 2 Industri Beri Pengaruh Buruk