
DIRGAHAYU Republik Indonesia. Banyak sudah yang telah tercapai bangsa Indonesia dengan segala keterbatasannya: integritas sebagai negara bangsa yang relatif utuh dan kebinekaan yang terkelola. Kemudian, GDP per kapita meningkat 700%, kemajuan fisik kota-kota, sebagian tertanganinya masalah sosial (pengendalian penduduk sehingga yang harusnya sudah mendekati 500 juta, sekarang sekitar 280 juta).
Selain itu, buta huruf di bawah 5%, penyakit menular tinggal sedikit, hampir tidak ada kelaparan yang menimbulkan kematian, harapan hidup yang tadinya di bawah 50 tahun, sekarang di atas 70 tahun, kelas menengah (dalam arti longgar) sekitar 45%. Sementara itu, pemilu langsung berjalan dengan tidak banyak korban, berkurangnya konsentrasi uang di Jakarta dari sekitar 75% sebelumnya sekarang di bawah 65%. Penghargaan terhadap HAM dan ada kebebasan berekpresi serta berorganisasi dstnya.
Namun, bangsa ini juga masih mengalami ketimpangan buruk (rasio GINI rasio pendapatan mendekati 0,5, meski rasio GINI pengeluaran menurut BPS pada 2015, 0,4), maraknya impor bahan pokok, belum mandiri secara makro finansial, teknologi, pangan dan energi, serta kebijakan pembangunan; belum kembalinya kepemimpinan dalam kepeloporan perdamaian dunia.
Otda yang belum menyejahterakan, korupsi bersifat sistemis, politik uang dan sistem politik transaksional membuat demokrasi belum substansial, yakni belum tegaknya supremasi hukum, belum terciptanya kesejahteraan umum dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat sbagaimana tuntutan Pancasila dan UUD 1945.
REORIENTASI PEMBANGUNAN
Kita perlu melakukan ‘reorientasi pembangunan ekonomi’ yang lebih menekankan kepada pemerataan. Dalam buku saya, Ekonomi Politik Indonesia dan Antarbangsa (bagian: perlunya membongkar GDP oriented, Pustaka Pelajar, 2023), yang salah satu intinya perlunya menggeser dari kecenderungan selama ini dalam pembangunan ekonomi yang lebih GDP oriented, yakni negara yang lebih berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin. Contohnya Amerika Serikat (AS).
AS, dengan GDP oriented tersebut, di satu pihak telah menjadi negara adikuasa global, baik secara ekonomi, politik, maupun militer. Namun, di lain pihak, kemiskinan masyarakat Amerika Serikat juga termasuk sangat tinggi untuk ukuran negara maju, yakni 18% menurut catatan statistik mereka, dengan homeless sekitar 12% dan gelandangan kira-kira 2 juta jiwa, serta termasuk negara yang kondisi masyarakatnya timpang (jika dibandingkan dengan negara maju lainnya seperti Eropa Utara dan Barat), yakni 40% penduduknya menerima kurang dari 17% GDP.
Hal itu karena dengan GDP oriented menempatkan instrumen pasar untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi, tanpa negara aktif dalam regulasi sosial yang mana kelompok miskin harus bertarung dalam kompetisi dengan kelompok kaya dalam akses kepada pelbagai sumber daya (modal, informasi, pemanfaatan sumber daya alam dan buatan, teknologi, dst) di satu pihak dan korban dalam kompetisi tersebut negara tidak secara aktif memberikan jaminan sosial di lain pihak.
Demikian juga yang terjadi dengan negeri ini, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% selama era reformasi, tapi penduduk yang pengeluaran US$2/hari masih sekitar 49%, pengangguran keseluruhan (terbuka plus setengah menganggur) sekitar 40%, dan paling mencolok ketimpangan yang sebelumnya (2004) dengan rasio GINI konsumsi sekitar 0,32 (relatif merata), 20 tahun kemudian (2024) menjadi sekitar 0,40 (timpang). Apalagi kalau diukur oleh rasio GINI pendapatan, yakni di atas 0,5 yang berarti dalam ketimpangan buruk.
Dengan demikian, pertumbuhan yang tinggi selama ini di satu pihak instrumen pasar makin fundamental yang mana semua kelompok masyarakat harus bertarung dalam akses kepada pelbagai sumber daya (pemanfaatan sumber daya alam, pendidikan/sekolah-sekolah, perbankan, pasar modal, informasi, tata ruang, teknologi, dst) dan menempatkan peran negara makin minimalis, dan di lain pihak makin kurang berperan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dengan memberikan akses ke pelbagai sumber daya tersebut.
PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS UUD 45
Jadi, diperlukan reorientasi dalam pembangunan ekonomi yang menempatkan GDP lebih sebagai indikator dan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menempatkan mekanisme pasar untuk mencapai efisiensi. Namun, dengan orientasi untuk mencapai kesejahteraaan rakyat yang tinggi dan merata seperti pesan konstitusi UUD 45, yakni antara lain Pasal 33 UUD 45 ayat 1 yang berbunyi: perekonomian disusun..... artinya ada negara yang berperan, jadi kita tidak menganut ideologi ‘minimum state’. Negara harus berperan dalam menyusun ‘ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan kekeluargaan’.
Namun, ekonomi kekeluargaan bukan yang ditafsirkan pada zaman Soeharto secara nepotistik, melainkan negara kekeluargaan yang berprinsip modern seperti yang telah dilaksanakan secara sukses oleh Jepang dan oleh Eropa Utara. Jepang menerjemahkan ekonomi kekeluargaan dalam arti Japan incorporated dengan kesejahteraan rakyatnya yang tinggi.
Sementara itu, Eropa Utara dengan koperasi yang di atas 60% penduduknya menjadi anggota aktif kemudian dengan pemberlakuan sistem jaminan sosial, pajak progresif, dan lain-lain sehingga rakyatnya juga dengan kesejahteraan yang tinggi. Itulah negara kekeluargaan yang menganut brotherhood principle. Jadi, Indonesia dapat mengambil inspirasi dari kedua contoh tersebut di samping pengalaman Indonesia sendiri dari pelbagai daerah.
Ditambah lagi ada pasal-pasal lain yang mana ekonomi lebih berorientasi: full employment (Pasal 27), negara menguasai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 ayat 2) yang sekarang ini banyak yang dikuasai asing dan oligarki, sumber kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat sebesarnya (Pasal 33 ayat 3), demokrasi ekonomi (Pasal 33 ayat 4), aktif dalam jaminan sosial (Pasal 34), dan dari hasil amendemen tentang APBN yang harus sesuai dengan ketentuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 ayat 1). Dengan demikian, dengan politik fiskal tersebut, sebagai prasyarat sehingga negara dapat menjalankan pasal-pasal UUD 45 (27, 33, 34) seperti telah disebutkan.
POLITIK FISKAL
Dengan demikian, salah satu kunci dalam reorientasi pembangunan ekonomi ke depan adalah bagaimana menyehatkan APBN untuk kemakmuran rakyat sebesarnya (lebih sejahtera dan merata) serta berusaha menghapus Kebocoran serta korupsi.
APBN kita selama ini untuk anggaran pembangunan kurang dari 25%. Karena politik subsidi (terakhir sebesar 430 T) dari total APBN sekitar 1850 T, belum tentu jatuh kepada rakyat yang membutuhkan, khususnya subsidi migas yang mencapai sekitar 285 T. Pajak yang mencapai sekitar 2200 T masih bocor (menurut penelitian), antara 25% hingga 40%, baik karena KKN maupun kebocoran lainnya.
Jadi, bagaimana agar Rp900 triliun hingga Rp1.900 triliun dapat diselamatkan dengan memperkuat pengawasan (internal oleh irjen dan BPKP atau eksternal oleh BPK dan KPK). Selain itu, utang luar negeri yang mencapai total sekitar Rp22.200 T (utang pemerintah sekitar Rp10 ribu T, utang BUMN Rp9.000 T dan utang swasta Rp3200 T) yang mana utang pemerintah harusnya makin dikurangi, apalagi kalau pajak kita makin mendekati nol kebocorannya.
Pihak swasta harusnya juga dibatasi utang LN tersebut (dan harus makin diawasi) serta di-peg sehingga kejadian seperti krisis moneter 1998 dapat dihindari. Ini karena waktu itu utang swasta dalam skim jangka pendek yang dipakai untuk proyek-proyek jangka panjang.
Sementara itu, program hilirisasi dalam pengelolaan SDA harus makin serius dilaksanakan dan dengan keharusan setiap perusahaan asing untuk melakukan transfer teknologi kepada pihak anak bangsa dan bermitra dengan perusahaan-perusahaan lokal.
Dengan demikian, mengurangi kebocoran akibat defisit transaksi berjalan karena defisit jasa teknologi serta transportasi harus menjadi program serius sehingga dalam lima tahun ke depan utang luar negeri dapat ditekan sampai kurang dari 10% GDP sehingga dalam APBN untuk program pembangunan dapat mendekati 50%.
Kemudian, industri pengolahan dapat berkembang pesat yang mana teknologi dan kewirausahaan anak bangsa juga akan makin berkembang sehingga impor kebutuhan pokok dan barang modal makin diproduksi oleh teknologi yang dihasilkan anak bangsa.
PRASYARAT LAIN KE ARAH KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN EKONOMI
Penyusunan APBN belum tampak menggambarkan konsekuensi untuk mengoreksi ketimpangan (atau untuk mencapai sasaran pemerataan). Belum lagi konsekuensinya dalam APBD (dengan koordinasi perencanaan oleh Bappenas). Juga dalam alokasi tata ruang untuk kalangan UMKM dan sektor informal (selama ini terlalu banyak dibangun mal dan supermarket, termasuk banyak yang berasal dari pihak asing) di semua kota...