CEO Malaka Project Ferry Irwandi mempertanyakan upaya TNI mencari celah dugaan tindak pidana yang dia lakukan. Ferry merasa tidak menyudutkan institusi maupun lembaga apa pun melalui konten, orasi, atau pernyataan yang disampaikannya dalam berbagai platform digital.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Jadi bingung dan juga penasaran. Apa sih yang dipermasalahkan gitu. Kok sampai segitunya? Apa mereka tidak berhitung bagaimana situasinya. Bukannya mereka mau situasinya kondusif ya?” kata Ferry saat dihubungi pada Jumat, 12 September 2025.
Ferry tidak tahu pernyataan mana yang mendorong TNI mencari celah dugaan tindak pidana yang dilakukan. Jika yang disangkakan kepadanya soal pencemaran nama, ia memahami Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, telah menyatakan tindak pidana pencemaran nama hanya dapat dilaporkan oleh seseorang secara pribadi.
Mantan pegawai Kementerian Keuangan ini mengakui bahwa ia memang pernah membuat konten soal darurat militer. Tapi, bukan untuk menyinggung atau melukai institusi. “Ya kan kami mengedukasi masyarakat soal darurat militer dan sejarahnya,” katanya.
Pemengaruh media sosial ini menegasan tidak memiliki niat untuk menuntut balik TNI yang mencari-cari celah dugaan tindak pidana yang dia lakukan. Ia mengatakan hanya ingin menjalankan hidupnya seperti bermain gim, mengajar, hingga menyelesaikan disertasi doktoralnya.
Pada Senin, 8 September 2025, Komandan Satuan Siber Markas Besar TNI Brigadir Jenderal Juinta Omboh Sembiring mendatangi markas Polda Metro Jaya untuk mendiskusikan dugaan tindak pidana pencemaran nama institusi TNI oleh Ferry Irwandi. Dugaan pidana Ferry ditemukan oleh Satuan Siber TNI setelah menyisir ruang siber.
Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Fian Yunus memastikan TNI memang tak bisa melaporkan Ferry atas tuduhan pencemaran nama. Ketentuan itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang menyatakan tindak pidana pencemaran nama hanya dapat dilaporkan oleh seseorang secara pribadi.
TNI mengklaim ada indikasi tindak pidana lain yang sifatnya lebih serius, selain pencemaran nama baik. Kapuspen TNI Freddy Ardianzah mengatakan lembaganya menghormati putusan MK. “Karena itu, langkah selanjutnya adalah mengkaji ulang dan membahasnya di internal TNI, menyusun konstruksi hukum yang sesuai,” katanya.
Freddy menyebutkan dua contoh konten Ferry yang diduga melanggar hukum. Pertama, soal analisis Ferry terhadap video viral penangkapan personel TNI di Palembang. Freddy mengatakan Ferry menambahkan frasa “bukan cuma saya..” dalam analisisnya. Padahal video itu sudah dikonfirmasi hoaks oleh Puspen. Dan frasa tersebut tidak ada dalam rekaman asli.
Contoh kedua adalah pernyataan Ferry tentang “darurat militer”, yang diduga sengaja diatur di balik kerusuhan demo, “Termasuk klaim darurat militer berhasil dicegah,” kata Freddy. Menurut Freddy, narasi itu bentuk provokasi dan fitnah. Sebab, tidak ada fakta yang mendukung rencana darurat militer. Menurut dia, ucapan itu dapat memicu ketakutan serta ketidakstabilan sosial.
Berdasarkan ketentuan, TNI menilai perbuatan Ferry diduga melanggar sejumlah pasal. Antara lain, pasal 207 KUHP soal penghinaan terhadap lembaga negara, pasal 28 ayat (2) UU ITE soal Penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian berbasis SARA, pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 soal penyiaran berita bohong dan kabar tidak pasti yang menimbulkan keonaran.
TNI mengatakan, sesuai hukum positif, Ferry juga diduga melanggar Pasal 310 KUHP soal Pencemaran nama baik, Pasal 160 & 161 KUHP soal Penghasutan, dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE soal Penyebaran kebencian berbasis SARA.