Liputan6.com, Jakarta Paolo Maldini adalah legenda AC Milan yang tak tergantikan, baik di lapangan maupun dalam sejarah klub. Ia baru-baru ini mengenang perjalanan kariernya, mulai dari debut tanpa sepatu yang tepat hingga mengakui bahwa kekalahan membentuk kesuksesannya.
Selama 25 tahun bersama Milan, Maldini telah meraih banyak gelar, tapi ia tak lupa bagaimana rasa kalah menempa mentalitasnya. Ia juga bicara soal debut yang mengejutkan, tekanan karena nama besar ayahnya, hingga derbi-derbi yang sempat membuatnya gemetar.
Debut Tak Terduga di Usia 16 Tahun
Maldini mengawali karier profesionalnya di usia 16 tahun dan ia sama sekali tidak menyangka akan bermain hari itu. "Ketika saya melakukan debut, saya pikir saya tidak akan bermain. Saya bahkan tidak membawa sepatu yang tepat," ungkapnya kepada Rai 3.
Kala itu, ia merasa masih berada di belakang pemain yang lebih senior dan berpengalaman. Namun, begitu diminta masuk oleh pelatih, ia langsung siap tempur, "Saya bilang pada pelatih, saya bisa bermain di mana saja."
Bermain di Bawah Bayang-bayang Sang Ayah
Sebagai putra dari Cesare Maldini, nama besar sang ayah menjadi beban tersendiri bagi Paolo. "Saya memiliki hubungan yang baik dengannya. Di tahun-tahun awal, saya tidak bisa menyangkal bahwa warisannya cukup membebani saya."
Namun, tekanan itu menjadi bagian dari proses pendewasaan dan pematangan mental di lapangan. Maldini membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar anak dari seorang legenda, tetapi mampu menjadi legenda itu sendiri.
Belajar dari Kekalahan
Maldini percaya bahwa kemenangan sejati lahir dari kekalahan yang menyakitkan. "Kesuksesan juga datang melalui kekalahan. Pada akhirnya, saya adalah salah satu pecundang terbesar sekaligus pemenang terbesar."
Ia merasa beruntung bisa meraih banyak trofi, tapi juga banyak belajar dari kekalahan. "Saya cukup beruntung bisa menang sambil banyak mengalami kekalahan juga," katanya dengan nada reflektif.
Derby della Madonnina yang Bikin Gemetar
Derby della Madonnina selalu jadi laga penuh emosi bagi Maldini, terutama di awal kariernya. "Derby-derby pertama adalah yang paling sulit, karena saya sangat ingat setelah pertandingan saya bilang, 'Saya tidak suka bagaimana saya bermain.'"
Tegang dan gugup membuatnya sulit tampil maksimal, bahkan merasa tubuhnya kaku. "Saraf saya terlalu tegang, dan saya agak lumpuh," ucapnya mengingat masa-masa penuh tekanan itu.
Sumber: Rai 3, Sempre Milan