
Sejumlah ekonom memberikan saran kepada Presiden Prabowo Subianto terkait Koperasi Desa Merah Putih yang sudah diresmikan kelembagaannya pada Senin (21/7). Koperasi itu dinilai berpotensi mendorong penerimaan negara, tetapi juga ada risiko negatif jika tidak dijalankan dengan manajemen yang baik.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menegaskan harus ada regulasi yang jelas agar potensi kontribusi Koperas Desa Merah Putih terhadap penerimaan negara bisa maksimal.
“(Dengan) memiliki sumber daya manusia profesional dan berintegritas, serta indikator kinerja yang jelas, perlu juga regulasi rinci mengenai kriteria koperasi yang sehat,” kata Esther saat dihubungi kumparan, Minggu (27/7).
Esther mengatakan saat ini kontribusi koperasi terhadap PDB masih rendah, yakni hanya 0,5 persen, karena banyak koperasi yang sudah tidak aktif. Untuk itu, kata Esgter, ke depan perlu ada upaya untuk mencegah koperasi mengalami kebangkrutan.
“Maka ke depan bisa dicegah koperasi-koperasi yang (berpotensi) bangkrut dan mati,” ujar Esther.
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, juga menilai program Koperasi Desa Merah Putih memiliki potensi fiskal cukup besar dalam membantu penerimaan negara. Menurut hitungannya, koperasi ini dapat memberikan pemasukan negara sekitar Rp 360 miliar selama enam tahun, atau sekitar Rp 30 miliar per tahun, dengan asumsi koperasi yang tertib membayar pajak.
“Karena (Kopdes) sudah di-launching, saya mendesak agar DJP (Direktorat Jenderal Pajak) segera mengecek apakah koperasi dan pengurusnya sudah mengurus perpajakan atau belum, sudah punya NPWP atau belum,” tegas Nailul.
Meski berdampak positif pada sisi penerimaan pajak, ia menilai secara ekonomi keberadaan koperasi ini juga memiliki sisi yang bisa merugikan.

“Ada potensi fraud hingga Rp 86 triliun dalam enam tahun. Belum lagi opportunity cost dari Himbara lebih dari Rp 70 triliun. Jadi secara ekonomi, Koperasi Merah Putih itu bisa juga merugikan,” jelas Nailul.
Nailul merinci, pada tahun pertama pelaksanaan program ini diperkirakan akan ada tambahan modal awal yang cukup besar, mencapai Rp 240 triliun jika mengacu pada jumlah sekitar 80 ribu koperasi. Dana tersebut digunakan untuk mendukung operasional awal, termasuk pembangunan fisik seperti penyewaan gedung dan pembelian barang modal. Kontribusi ini dinilai akan mendorong peningkatan output ekonomi secara signifikan di tahap awal.
Namun, memasuki tahun kedua dan seterusnya, tambahan modal diperkirakan akan berkurang drastis dan hanya bersumber dari Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang diproyeksikan masih rendah, yakni sekitar Rp 56 juta per tahun.
“Sedangkan risiko gagal bayar mencapai 4 persen dan opportunity cost bagi perbankan juga berjalan, sehingga terdapat kerugian perekonomian negara. Maka, pada tahun kedua hingga seterusnya terjadi pengurangan output ekonomi menjadi turun,” jelas Nailul.
Peneliti Ekonomi CELIOS, Dyah Ayu, menambahkan bahwa ada risiko gagal bayar yang sangat besar. Dalam hitungannya, diperkirakan terdapat potensi risiko gagal bayar yang bisa mencapai Rp 85,96 triliun selama periode pinjaman enam tahun.
“Itu yang sangat membebani pemerintah desa sebagai penanggung jawab,” kata Dyah.
Dyah menyoroti adanya biaya kesempatan yang harus ditanggung oleh sektor perbankan akibat pendanaan terhadap koperasi tersebut, yang diperkirakan mencapai Rp 76,51 triliun. Menurutnya, angka ini mencerminkan potensi kerugian besar karena dana perbankan dialihkan dari investasi yang seharusnya lebih menguntungkan.
Dyah juga menyoroti tantangan besar yang harus diperhatikan, terutama di sektor Sumber Daya Manusia (SDM) bagi Kopdes Merah Putih yang telah beroperasional.
“Banyak koperasi yang dikelola oleh pengurus dengan kapasitas manajerial yang terbatas, sehingga kesulitan dalam mengelola sumber daya dan menjalankan bisnis dengan efisien,” tuturnya.

Koperasi Desa Merah Putih berjalan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Koperasi itu memiliki potensi lini bisnis dengan BUMN sebagai agen pupuk, bisnis outlet LPG 3 kg, gerai sembako, agen Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), layanan logistik pos, penyalur bantuan pemerintah, menyerap gabah, dan apotek obat murah.
Pemerintah juga resmi mengizinkan Koperasi Desa Merah Putih untuk mengakses pinjaman bank BUMN hingga Rp 3 miliar. Ketentuan pinjaman itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 yang ditandatangani Menkeu Sri Mulyani pada 21 Juli 2025.
Dalam beleid tersebut, plafon pinjaman ditetapkan maksimal Rp 3 miliar per koperasi, dengan suku bunga sebesar 6 persen per tahun dan tenor maksimal enam tahun. Masa tenggang diberikan selama enam hingga delapan bulan, dengan kewajiban angsuran bulanan.
PMK ini juga membatasi penggunaan dana, di mana belanja operasional hanya diperbolehkan maksimal Rp 500 juta dari total pinjaman.