
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur lengkap terkait dengan tindak pidana yang menjerat korporasi.
Rencana aturannya pun dibacakan lengkap oleh Wamenkum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dalam rapat pembahasan DIM bersama Panja RUU KUHAP di Komisi III DPR RI pada Kamis (10/7).
“Kami membuat substansi betul-betul baru. Ini untuk mengakomodasi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam KUHP. Jadi kami mengatur mulai dari definisinya sampai pada penyelidikan dan pemeriksaan sidang,” ujar dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pengaturan soal tindak pidana korporasi pun diatur dalam Pasal 390A hingga Pasal 390O. Dalam rapat itu, Panja menyetujui isinya.
Berikut susunan lengkapnya:
Pasal 309A
1. Pertanggungjawaban atas tindak pidana oleh korporasi dikenakan terhadap korporasi dan penanggung jawab korporasi.
2. Penanggung jawab korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengurus yang memiliki jabatan fungsional dalam struktur organisasi korporasi;
b. pemberi perintah;
c. pemegang kendali; atau
d. pemilik manfaat.
Bagian Kedua
Penyelidikan dan Penyidikan
Pasal 309B
1. Pemanggilan terhadap korporasi pada tahap penyelidikan dapat diwakili oleh penanggung jawab korporasi.
2. Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap korporasi memanggil korporasi yang diwakili oleh penanggung jawab korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309A ayat (2) dengan surat panggilan yang sah.
3. Penanggung jawab korporasi dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib hadir dalam pemeriksaan korporasi.
4. Dalam hal korporasi telah dipanggil secara patut namun tidak hadir, menolak hadir, atau tidak menunjuk penanggung jawab korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309A ayat (2) untuk mewakili korporasi dalam pemeriksaan, maka Penyidik menentukan salah seorang penanggung jawab korporasi untuk mewakili korporasi dan memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa penanggung jawab korporasi secara paksa.
5. Ketentuan mengenai upaya paksa terhadap orang pada tahap penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 133 berlaku secara mutatis mutandis terhadap upaya paksa penanggung jawab korporasi.
6. Ketentuan mengenai mekanisme keadilan restoratif terhadap korporasi berlaku dengan ketentuan:
a. tindak pidana pertama kali dilakukan oleh korporasi;
b. korporasi melakukan ganti kerugian atau restitusi terhadap korban dan/atau ganti kerugian terhadap negara; dan/atau
c. tindakan korektif lainnya yang dianggap perlu oleh Penyidik.
Bagian Ketiga
Perjanjian Penundaan Penuntutan
Pasal 309C
1. Perjanjian penundaan penuntutan bertujuan untuk kepatuhan hukum, pemulihan kerugian akibat tindak pidana, serta efisiensi dalam peradilan pidana.
2. Perjanjian penundaan penuntutan hanya dapat diterapkan pada tindak pidana oleh korporasi.
3. Permohonan perjanjian penundaan penuntutan dapat diajukan oleh Tersangka, Terdakwa, atau Advokat kepada Penuntut Umum sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.
4. Penuntut Umum dapat menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan pertimbangan keadilan, korban, dan kepatuhan Tersangka terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Dalam hal Penuntut Umum menerima permohonan, Penuntut Umum wajib memberitahukan kepada pengadilan terkait akan dilaksanakan proses perjanjian penundaan penuntutan dan dicatat dalam berita acara.
6. Hasil kesepakatan perjanjian penundaan penuntutan wajib disampaikan oleh Penuntut Umum kepada pengadilan paling lama 7 (tujuh) hari setelah kesepakatan ditandatangani oleh para pihak.
7. Pengadilan wajib mengadakan sidang pemeriksaan untuk menilai kelayakan dan keabsahan perjanjian penundaan penuntutan sebelum disahkan.
8. Dalam sidang pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Hakim wajib mempertimbangkan:
a. kesesuaian syarat dalam perjanjian penundaan penuntutan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. proporsionalitas sanksi administrasi atau kewajiban lain yang diberikan kepada Tersangka atau Terdakwa;
c. dampak terhadap korban, masyarakat, lingkungan hidup, perekonomian negara, dan sistem peradilan pidana; dan
d. kemampuan Tersangka atau Terdakwa dalam memenuhi syarat yang ditetapkan.
9. Dalam memeriksa perjanjian penundaan penuntutan, Hakim dapat meminta tambahan informasi atau klarifikasi dari Penuntut Umum, Tersangka, Terdakwa, atau pihak lain yang berkepentingan.
10. Dalam hal Hakim menyetujui perjanjian penundaan penuntutan, maka pengesahan dituangkan dalam penetapan pengadilan dan perkara ditangguhkan sesuai dengan kesepakatan.
11. Dalam hal Hakim menolak perjanjian penundaan penuntutan, maka perkara dilanjutkan ke persidangan dengan acara pemeriksaan biasa.
12. Syarat dalam perjanjian penundaan penuntutan dapat berupa:
a. pembayaran ganti kerugian atau restitusi kepada korban;
b. pelaksanaan program kepatuhan hukum atau perbaikan tata kelola korporasi yang anti-korupsi;
c. kewajiban pelaporan dan kerja sama dengan penegak hukum selama proses penundaan penuntutan; atau
d. tindakan korektif lainnya yang dianggap perlu oleh Penuntut Umum.
13. Dalam hal Tersangka atau Terdakwa memenuhi semua kewajiban dalam perjanjian penundaan penuntutan selama jangka waktu yang ditentukan, maka perkara dapat dihentikan tanpa penuntutan lebih lanjut dengan penetapan pengadilan.
14. Pengadilan berwenang untuk memantau pelaksanaan perjanjian penundaan penuntutan sesuai waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
15. Dalam hal Tersangka atau Terdakwa gagal memenuhi kewajiban dalam kesepakatan perjanjian penundaan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melanjutkan proses penuntutan tanpa memerlukan persetujuan tambahan.
16. Setiap perjanjian penundaan penuntutan dicatat secara resmi dan disampaikan kepada Hakim untuk dicatat dalam berita acara di pengadilan.
17. Pelanggaran terhadap prosedur perjanjian penundaan penuntutan dapat berakibat batal demi hukum dan menjadi dasar bagi Tersangka atau Terdakwa untuk mengajukan keberatan atau perlawanan.
Bagian Keempat
Dakwaan
Pasal 309D
1. Surat dakwaan terhadap korporasi dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Surat dakwaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sebagai berikut:
a. identitas korporasi terdiri atas:
1. nama korporasi;
2. tempat dan tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir;
3. tempat kedudukan;
4. kebangsaan korporasi;
5. jenis korporasi;
6. bentuk kegiatan/usaha; dan
7. identitas penanggung jawab korporasi yang mewakili; dan
b. uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Bagian Kelima
Pertanggungjawaban Korporasi
Pasal 309E
1. Korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemisahan atau pembubaran korporasi.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pertanggungjawaban korporasi dalam penggabungan, peleburan, pemisahan, atau pembubaran korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Pengenaan Pidana dan Tindakan
Pasal 309F
1. Hakim dapat menjatuhkan pidana dan/atau tindakan terhadap korporasi.
2. Hakim menjatuhkan pidana dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada masing-masing Undang-Undang yang mengatur ancaman pidana terhadap korporasi.
3. Penjatuhan pidana dan/atau tindakan terhadap korporasi sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Pasal 309G
Korporasi dan penanggungjawab korporasi dapat diajukan bersama-sama sebagai Terdakwa.
Bagian Ketujuh
Putusan
Pasal 309H
1. Hakim menjatuhkan pidana terhadap korporasi berupa pidana pokok dan/atau pidana tambahan.
2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana denda.
3. Pidana tambahan dijatuhkan terhadap korporasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Putusan
Pasal 309I
1. Pelaksanaan putusan dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Petikan putusan dapat digunakan sebagai d...