
Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang resmi memberlakukan tarif tambahan sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia dinilai berpotensi menggerus daya saing produk ekspor Tanah Air.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian, Saleh Husin, menyebut langkah ini bisa berdampak besar terhadap kinerja industri nasional, terutama yang berorientasi ekspor.
“Tentu hal ini akan cukup berpengaruh terhadap daya saing produk ekspor Indonesia, mengingat AS adalah salah satu tujuan utama ekspor Indonesia,” ujar Saleh dalam keterangannya, Rabu (9/7).
Saleh merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), di mana nilai ekspor Indonesia ke AS pada tahun 2024 mencapai USD 28,18 miliar, atau tumbuh 9,27 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi ekspor ke AS pun cukup signifikan, yakni sebesar 9,65 persen dari total ekspor nasional.
Namun, ia mengkhawatirkan tarif ini akan membuat harga produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal, sehingga menurunkan daya saing dan pada akhirnya berdampak pada industri dalam negeri.
“Tambahan tarif menyebabkan harga produk ekspor Indonesia menjadi relatif lebih mahal, sehingga akan berdampak terhadap penurunan kinerja ekspor industri dalam negeri. Hal ini tentunya akan mengurangi laba yang diperoleh industri, yang dalam jangka panjang bisa menyebabkan terjadinya PHK,” sebut Saleh.
Ia pun menyebut sejumlah sektor yang rentan terdampak seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, alas kaki, serta sektor perikanan. Industri-industri ini umumnya bersifat padat karya, sehingga sangat berpotensi terdampak jika kondisi berlanjut dalam jangka panjang.
Lebih lanjut, mengenai situasi sektor manufaktur nasional yang saat ini tengah mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut, Saleh juga mengatakan bahwa pemerintah harus bergerak cepat mengantisipasi dampak lanjutan dari kebijakan tarif ini.
“Diplomasi tetap perlu dilakukan dengan AS. Kemudian pemerintah perlu memberikan insentif atau bantuan kepada industri dalam negeri yang terdampak, untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul,” ucap Saleh.
Ia juga mendorong agar pemerintah menyusun strategi jangka panjang berupa diversifikasi pasar ekspor guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat. Saleh menyarankan pemerintah perlu mulai menjajaki peluang ekspor ke pasar-pasar nontradisional seperti negara-negara di kawasan Afrika, Eropa Timur, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Asia Selatan.

Ia melanjutkan, yang tak kalah penting adalah upaya optimalisasi penyerapan produk dalam negeri. salah satunya melalui peningkatan penggunaan produk lokal dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah lewat kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
“Hal yang tidak kalah penting adalah dengan mengoptimalkan penyerapan produk di pasar dalam negeri, misalnya dengan kebijakan TKDN pada pengadaan pemerintah,” tutup Saleh.
Sebelumnya, Trump resmi menetapkan tarif sebesar 32 persen untuk produk asal Indonesia. Kebijakan ini mulai berlaku pada 1 Agustus 2025, dengan besaran tarif yang sama seperti yang telah diumumkan sejak April lalu.
Trump dikabarkan telah mengunggah surat mengenai tarif yang ditujukan kepada Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada Selasa (8/7).
“Harap dipahami bahwa angka 32 persen ini masih jauh lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk menghapus ketimpangan defisit perdagangan dengan negara Anda,” tulis Trump dalam surat tersebut.
Selain menerapkan tarif di angka 32 persen, Trump juga mengancam akan menaikkan tarif lebih tinggi sebesar 32 persen lagi jika Indonesia menerapkan tarif balasan kepada produk AS.
“Apabila karena alasan apa pun Anda memutuskan untuk menaikkan tarif Anda, maka angka berapa pun yang Anda pilih akan ditambahkan ke tarif 32 persen yang kami kenakan,” tambahnya.