Jakarta (ANTARA) - Lembaga kajian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebut inisiatif keanggotaan Indonesia dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) berpeluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Peneliti dan Analis Kebijakan CIPS Hasran mengatakan dengan keanggotaan Indonesia di OECD diharapkan dapat mengurangi hambatan nontarif, memperluas akses pasar dan meningkatkan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan keberlanjutan, yang merupakan kunci utama untuk memperluas akses pasar ke Eropa.
"Keanggotaan Indonesia dalam keanggotaan OECD sangat penting, namun dibutuhkan adanya penyesuaian regulasi nasional, termasuk di bidang perdagangan dan keberlanjutan," ujar Hasran dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Hasran menyampaikan berbagai penyesuaian, sebagai konsekuensi dari bergabungnya Indonesia ke OECD, merupakan bentuk adaptasi Indonesia dengan standar OECD.
Hal ini juga memungkinkan Indonesia untuk mencapai kemajuan dengan praktik terbaik global, menarik investasi dan meningkatkan konsistensi regulasi di sektor utama.
Pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar 0,78 poin persen lebih tinggi dalam jangka pendek (2028-2030) dan 0,92 poin persen lebih tinggi dalam jangka menengah (2031-2035) dibandingkan skenario tanpa aksesinya ke OECD.
Negara-negara seperti Meksiko, Kosta Rika dan Kolombia telah menunjukkan keanggotaan mereka meningkatkan kualitas kebijakan dan kinerja ekonomi secara signifikan.
Meksiko, misalnya, sebelum bergabung dengan OECD menerima Foreign Direct Investment (FDI) sebesar 4,3 miliar dolar AS pada tahun 1992. Namun setelah resmi menjadi anggota OECD pada tahun 1994, FDI yang masuk ke negaranya meningkat menjadi 11,6 miliar dolar AS.
Saat ini, ekspor Indonesia ke pasar OECD menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu, struktur ekspor masih didominasi oleh sektor-sektor ekstraktif, seperti energi dan mineral.
Sementara sektor nonekstraktif, misalnya manufaktur, dengan produk seperti alas kaki dan tekstil justru stagnan dan belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
Untuk memastikan melancarkan aksesi Indonesia sebagai anggota OECD, penelitian CIPS merekomendasikan beberapa hal, pertama reformasi regulasi.
Reformasi regulasi dibutuhkan untuk menyelaraskan regulasi Indonesia dengan standar OECD.
Meskipun sebagian besar regulasi Indonesia di bidang-bidang ini sebagian sesuai dengan instrumen OECD, beberapa perubahan penting pada legislasi akan membantu proses aksesi.
Kedua, Indonesia direkomendasikan untuk merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumennya atau UU PK (UU No. 8/1999).
Meskipun telah mengakomodasi beberapa ketentuan dalam instrumen hukum OECD, UU PK tersebut tidak memasukkan perlindungan konsumen anak atau perlindungan konsumen dalam perdagangan elektronik.
Selanjutnya, Indonesia direkomendasikan untuk mengurangi hambatan non-tarif untuk membantu menurunkan biaya kepatuhan terkait perdagangan, khususnya di sektor-sektor yang terkait erat dengan ekspor dan integrasi rantai pasok.
"Bergantung hanya pada satu pasar saja pada situasi ekonomi yang rentan seperti saat ini tidaklah bijaksana. Namun pemerintah juga harus siap pada berbagai bentuk penyesuaian yang dibutuhkan untuk mendorong peningkatan industri dalam negeri," imbuh Hasran.
Saat ini, Indonesia adalah kandidat resmi dan jika berhasil, akan menjadi negara ASEAN pertama yang bergabung dengan OECD.
Baca juga: Sesmenko: Aksesi RI ke OECD jadi pengungkit transformasi ekonomi
Baca juga: Belanda dukung penuh Indonesia jadi anggota OECD
Baca juga: Airlangga: Keanggotaan OECD buka akses pasar dan dongkrak investasi RI
Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.