Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Umar Hadi, menegaskan pentingnya terus menyuarakan isu pengakuan negara Palestina dan pendudukan Israel, termasuk dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menjawab pertanyaan ANTARA dalam pengarahan media di Jakarta, Kamis, terkait peluang Sidang Umum ke-80 PBB menghasilkan kesepakatan konkret bagi Palestina, Umar mengakui bahwa pengakuan penuh Palestina masih menghadapi tantangan, terutama karena adanya negara-negara yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Karena itu, ia menekankan pentingnya menjaga relevansi isu Palestina di forum internasional. Umar juga meyakini jumlah negara yang secara resmi mengakui kemerdekaan Palestina akan terus bertambah.
“Yang harus kita lakukan adalah terus menyuarakan hak bangsa Palestina untuk merdeka dan berdaulat, serta mengakhiri pendudukan asing di Palestina. Kalau dari segi pengakuan, saya kira akan semakin banyak negara di dunia yang mengakui Palestina merdeka,” kata Umar.
Terkait sikap Indonesia, Umar menjelaskan bahwa berdasarkan Konstitusi, khususnya Pembukaan Undang-Undang Dasar, bangsa Palestina sejatinya sudah merdeka. Kemerdekaan, tegasnya, adalah hak yang tidak perlu diminta kepada pihak lain.
“Seperti kita dulu, ketika proklamasi 17 Agustus 1945, kita sudah merebut hak kita untuk merdeka. Tetapi realitanya masih ada pendudukan oleh negara lain,” ujarnya.
Umar menambahkan bahwa tantangan utama rakyat Palestina saat ini adalah mendapatkan pengakuan luas dari negara lain. Ia mengingatkan bahwa syarat berdirinya sebuah negara adalah memiliki wilayah, penduduk, pemerintahan yang efektif, dan hubungan internasional.
“Tapi masalah berikutnya adalah soal pendudukan. Ya memang harus dihentikan dulu pendudukannya. Bagaimana caranya? PBB sebagai organisasi dunia harus punya peran,” tegasnya.
Kemlu juga mengonfirmasi bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menjadi pembicara ketiga pada hari pertama sesi perdebatan umum Sidang Majelis Umum PBB yang dijadwalkan akan berlangsung di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2025.
Meski belum merinci isi pidato presiden, Kemlu menyampaikan bahwa dinamika global, termasuk isu Palestina, akan menjadi salah satu poin yang disampaikan kepala negara.
Palestina memiliki sejarah panjang konflik dan perjuangan kemerdekaan. Meski saat ini diakui oleh lebih dari 130 negara serta berstatus pengamat non-anggota PBB dan anggota penuh UNESCO, Palestina belum sepenuhnya merdeka akibat pendudukan Israel sejak 1948.
Wilayah Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur menjadi pusat konflik yang diperparah oleh pembangunan permukiman Israel. Dukungan kuat Amerika Serikat terhadap Israel, termasuk penggunaan veto di PBB, umumnya menjadi penghalang utama proses pengakuan kedaulatan Palestina.
Selain itu isu perpecahan internal Palestina, blokade, serta krisis ekonomi memperburuk situasi dan kondisi Palestina, sementara Perjanjian Oslo 1993 antara Palestina dan Israel, gagal diwujudkan.
Perjanjian Oslo 1993 merupakan kesepakatan awal Israel dan PLO untuk saling mengakui, membentuk Otoritas Palestina dengan kewenangan terbatas, serta penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza dan Tepi Barat. Isu utama seperti Yerusalem, pengungsi, permukiman, dan perbatasan disepakati dibahas kemudian.
Menurut Perjanjian Oslo 2023, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) diakui oleh Israel sebagai wakil sah rakyat Palestina.
Baca juga: Prabowo akan bahas dinamika global di Sidang Umum PBB
Baca juga: AS tak beri visa pejabat Palestina, SMU PBB diusulkan pindah ke Jenewa
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.