
Dahulu, ada sebuah perasaan magis saat seseorang membangun sudut kecilnya sendiri di internet. Blog menjadi sebuah taman rahasia, sebuah kamar pribadi yang pintunya sedikit terbuka bagi siapa saja yang tidak sengaja lewat atau memang sengaja datang berkunjung. Pemiliknya adalah arsitek sekaligus penghuni, dengan kuasa penuh untuk mengecat dinding dengan berbagai warna, mengisi rak-rak dengan tulisan apa saja, dan menata perabotannya widget kalender, pemutar musik, atau daftar blog sahabat sesuai selera.
Kini, banyak orang seolah sudah pindah dari kamar pribadi itu ke sebuah pasar malam yang tidak pernah tutup. Setiap orang memiliki lapaknya sendiri, dan di atas lapak itu, para pedagang memajang versi terbaik dari hidupnya.
Manusia bukanlah lagi penghuni, melainkan pedagang. Dan barang dagangan utamanya adalah citra diri sendiri. Pergeseran dari ngeblog ke ngetwit atau mengunggah story bukanlah sekadar soal memendeknya durasi perhatian. Hal tersebut merupakan transformasi fundamental dari tujuan keberadaan di dunia maya sehingga upaya untuk mendokumentasikan menjadi ajang mempromosikan.
Perubahan tersebut lebih dalam dari sekadar format. Hal tersebut menyentuh arsitektur rumah digital, mengubah niat dalam berbagi, dan pada akhirnya, membentuk kembali cara memandang identitas diri sendiri. Kisah hilangnya budaya menulis panjang adalah kisah tentang bagaimana diary personal pelan-pelan berubah menjadi etalase publik yang menuntut performa tanpa henti.
Arsitektur Rumah Digital yang Hilang
Dalam memahami perubahan tersebut, perlu dilihat perbedaan arsitektur antara blog dan platform media sosial modern. Sebuah blog didesain seperti sebuah rumah atau perpustakaan. Medium tersebut memiliki struktur yang menetap. Ada halaman depan sebagai beranda, ada kategori sebagai ruangan-ruangan tematik, dan yang terpenting, ada arsip sebagai fondasi yang menyimpan semua memori secara kronologis. Setiap tulisan adalah sebuah batu bata yang membangun bangunan itu, membuatnya semakin kokoh dan berkarakter seiring waktu. Struktur tersebut memberikan rasa permanen dan kepemilikan.
Media sosial memiliki arsitektur aliran (stream). Konten bukanlah batu bata, melainkan air yang terus mengalir dalam sebuah sungai deras. Konten tersebut muncul di linimasa untuk sesaat, lalu tersapu oleh arus unggahan baru yang tidak ada habisnya. Pengguna bukanlah pemilik rumah, melainkan penyewa di sebuah apartemen raksasa ketika pemilik gedung (platform) bisa mengubah tata letak atau bahkan merobohkannya kapan saja.
Arsitektur aliran tersebut secara psikologis mengubah hubungan setiap individu dengan apa yang dibagikan. Karena sifatnya yang sementara, unggahan cenderung tidak dianggap sebagai arsip berharga. Hal tersebut mendorong produksi konten yang cepat dan reaktif, bukan refleksi yang lambat dan awet. Jejak digital tidak lagi terasa seperti sebuah autobiografi yang tersusun rapi, melainkan kumpulan teriakan sesaat yang berserakan dan sulit dilacak kembali.
Komodifikasi Diri: Ketika Setiap Orang Menjadi Merek

Perbedaan arsitektur tersebut melahirkan konsekuensi berikutnya yang lebih signifikan yaitu komodifikasi diri. Di dalam rumah digital yang dulu, setiap individu bebas menjadi diri sendiri seutuhnya termasuk sisi yang membosankan, bingung, atau tidak fotogenik. Tulisan yang dibuat adalah cerminan dari sebuah proses berpikir, bukan sebuah produk jadi yang siap jual. Tujuannya yaitu berbagi, bukan memasarkan.
Dinamika pasar malam di media sosial terbalik. Setiap profil adalah sebuah etalase, dan setiap unggahan adalah produk yang dipajang. Setiap pengguna didorong untuk membangun merek pribadi (personal brand). Kehidupan yang semula merupakan rangkaian peristiwa organik kini harus dipilah-pilah ke dalam pilar konten. Pengalaman liburan menjadi konten travel, renungan pribadi menjadi konten self-development, dan bahkan kesedihan pun bisa dikemas menjadi konten kerentanan yang strategis.
Tekanan untuk senantiasa tampil menarik dan relevan menjadi sangat besar. Muncul sebuah fenomena yang bisa disebut autentisitas performatif. Banyak orang diminta untuk menjadi apa adanya, tetapi versi apa adanya yang sudah dikurasi, estetik, dan laku di pasaran. Kerentanan yang ditunjukkan adalah kerentanan yang sudah diperhitungkan. Spontanitas yang ditampilkan adalah spontanitas yang terjadwal. Kondisi tersebut menghilangkan ruang untuk menjadi biasa-biasa saja, sehingga dalam ekonomi perhatian menjadi biasa saja berarti menjadi tidak terlihat.
Runtuhnya Ruang-Ruang Niche ke Dalam Pusaran Mainstream
Salah satu keindahan terbesar dari ekosistem blog di masa lalu adalah keberadaan sudut-sudut internet yang tidak terhitung jumlahnya. Ada komunitas blog yang secara khusus membahas filateli, musik folk Swedia, atau cara merawat tanaman sukulen. Menemukan blog dengan minat yang sama terasa seperti menemukan harta karun, sebuah validasi bahwa seseorang tidak sendirian dalam keanehannya. Interaksi di dalamnya terasa intim dan bermakna karena didasari oleh konteks dan kecintaan yang sama. Hal tersebut menjadi ruang-ruang aman untuk para penggemar bisa menjadi kutu buku tanpa dihakimi.
Algoritma platform media sosial raksasa bekerja dengan cara sebaliknya. Mekanisme tersebut tidak lagi menjaga komunitas-komunitas tersebut di sudutnya masing-masing. Sebaliknya, algoritma berfungsi seperti sebuah pusaran air raksasa yang menarik semua konten, baik dari ceruk terdalam maupun dari permukaan, ke dalam satu arus utama yang homogen. Sebuah video mendalam tentang sejarah gamelan Bali bisa tiba-tiba muncul di linimasa seseorang yang tidak memiliki konteks, diapit oleh video kucing lucu, dan konten politik yang memecah belah.
Maka, ruang-ruang intim tersebut runtuh. Diskusi yang tadinya mendalam di antara para ahli atau penggemar kini terbuka bagi komentar sinis dari orang asing yang tidak paham konteks. Untuk bisa bertahan di pusaran mainstream tersebut, para kreator di ceruk-ceruk tersebut sering kali terpaksa menyederhanakan konten, membuatnya lebih umum, lebih ramah bagi pemula, atau lebih provokatif agar menarik perhatian. Keunikan dan kedalaman dikorbankan demi jangkauan. Pelan-pelan, semua sudut internet yang berwarna-warni itu dicat dengan warna yang sama.
Merindukan Kebebasan untuk Menjadi Membosankan
Pada akhirnya, hilangnya budaya menulis panjang di blog bukan hanya soal format. Hal tersebut merupakan kisah tentang bagaimana para pengguna berpindah fungsi dan kebiasaan. Banyak orang menukar kepemilikan dengan jangkauan, kedalaman dengan keterlibatan, dan komunitas intim dengan kerumunan massa.
Hal yang paling dirindukan dari era blog bukanlah semata-mata kemampuannya untuk menulis panjang. Namun, sebuah kemewahan yang menyertainya sehingga adanya kebebasan menjadi tidak menarik. Kebebasan untuk menulis tentang langit yang mendung pada hari Selasa tanpa perlu memikirkan caption yang puitis atau hashtag yang sedang tren. Kebebasan untuk menjadi membosankan, tidak produktif, dan tidak menjual di hadapan audiens yang tidak menuntut apa-apa.
Mustahil memutar balik waktu, namun kesadaran akan apa yang sudah hilang bisa menjadi langkah pertama. Langkah untuk secara sadar menciptakan kembali ruang-ruang kecil sehingga setiap orang bisa menjadi arsitek atas narasinya sendiri, bukan sekadar komoditas di etalase orang lain.