
Pada awal Juli 2025, wilayah Jabodetabek kembali dikepung banjir. Ratusan RT terdampak, jalan-jalan tergenang, warga mengungsi — dan pertanyaan yang berulang kembali muncul: “Kenapa kita tidak mendapat peringatan?”
Banjir ini bukan sekadar bencana hidrometeorologi. Ia adalah cermin dari kegagalan sistem komunikasi risiko kita. Meskipun BMKG terus mengeluarkan peringatan dini, banyak warga merasa informasi tersebut tidak sampai, tidak jelas, atau sudah terlalu sering sehingga tidak lagi dianggap penting.
Fenomena ini dikenal sebagai warning fatigue — kelelahan akibat terlalu sering menerima peringatan yang tidak relevan, tidak terarah, atau tidak dapat ditindaklanjuti. Dalam situasi seperti ini, masyarakat lambat laun kehilangan kepercayaan terhadap sistem dan memilih untuk mengabaikannya. Ini bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena sistemnya memang tidak membantu mereka memahami risiko dengan baik.
Tips Cek Titik Banjir Tak Cukup
Beberapa media kini mulai rutin memuat tips mengecek titik-titik banjir secara real-time, seperti melalui Peta Bencana, JAKI, atau situs BPBD DKI. Ini inisiatif yang baik. Namun, informasi pasif semacam ini hanya berguna bagi mereka yang sudah mencari.
Yang lebih dibutuhkan adalah sistem peringatan yang aktif, kontekstual, dan mudah dimengerti, agar warga bisa bersiap bahkan sebelum air datang. Sayangnya, yang kita lihat saat ini adalah banjir informasi — bukan banjir solusi.
Contoh Nyata: Komunikasi Peringatan yang Sulit Dicerna
Berikut adalah contoh pesan peringatan dini dari BMKG yang tersebar melalui WhatsApp group:

Bayangkan orang yang menerima pesan seperti ini larut malam. Daftar wilayah panjang, tanpa pemisah, tanpa warna, tanpa instruksi tindakan. Apakah pembaca akan tahu apa yang harus dilakukan? Atau akan diabaikan seperti notifikasi grup lainnya?
Inilah bukti nyata bahwa sistem peringatan kita tidak dirancang untuk warga, tapi untuk sistem itu sendiri.
Sistem “Siaga, Waspada, Awas” pun Tak Lagi Relevan
Masalah lainnya adalah penggunaan istilah seperti normal, waspada, kritis, dan awas. Ini bukan hanya tidak intuitif — tapi membingungkan.
Banyak warga tak tahu apakah “awas” berarti lebih parah dari “waspada”, atau sebaliknya. Istilah ini tidak punya makna tindakan. Bandingkan dengan sistem yang digunakan di beberapa negara, contohnya Australia dengan menggunakan peringatan: Moderate - Plan and prepare, High - Be ready to act, Extreme - Take action now to protect your life and property, Catastrophic - For your survival, leave bushfire risk areas, atau sistem warna (kuning-oranye-merah) seperti di Filipina. Kriteria-kriteria ini lebih mudah dimengerti publik.
Peringatan dini seharusnya membimbing aksi, bukan sekadar menyampaikan status.
Mengapa Warning Fatigue Terjadi?
Ada beberapa alasan mengapa masyarakat menjadi lelah atau bahkan abai terhadap peringatan dini cuaca:
1. Istilah “peringatan dini” digunakan terlalu sering
Tidak semua pembaruan cuaca layak disebut “peringatan”. Saat prakiraan rutin pun diberi label “peringatan dini”, istilah ini kehilangan makna dan urgensinya.
2. Tidak ada pembedaan tingkat risiko
Jika semua peringatan terdengar atau terlihat sama, masyarakat tidak bisa membedakan mana yang biasa, mana yang darurat. Tanpa sistem klasifikasi risiko yang jelas dan bertingkat, kemampuan publik untuk merespons juga menurun.
3. Informasi tidak kontekstual dan tidak bisa ditindaklanjuti
Peringatan sering kali terlalu umum dan tidak memberikan instruksi spesifik yang relevan secara lokal. Misalnya, warga butuh arahan seperti “hindari jalan X karena rawan genangan” atau “pindahkan kendaraan ke tempat lebih tinggi”. Tanpa ini, peringatan terasa tidak relevan.
4. Terlalu sering salah atau tidak terbukti
Ketika warga sudah mengambil tindakan berdasarkan peringatan tapi tidak terjadi apa-apa, mereka merasa usahanya sia-sia. Hal ini menumbuhkan rasa skeptis dan membuat mereka enggan menanggapi peringatan berikutnya.
Dampak Warning Fatigue
Warning fatigue bukan hanya melemahkan sistem, tapi bisa mematikan:
Warga menjadi apatis terhadap peringatan, meski yang disampaikan benar-benar penting.
Petugas lapangan bingung mana informasi yang harus segera ditindaklanjuti.
Terjadi kesenjangan antara apa yang “diumumkan” dan apa yang “dipahami”.
Alih-alih menyelamatkan, informasi justru jadi beban. Apalagi jika tidak disertai mekanisme umpan balik atau validasi dari masyarakat.
Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan? Praktik Baik untuk Menghindari Warning Fatigue
Untuk mengatasi warning fatigue dan meningkatkan efektivitas komunikasi risiko, ada beberapa praktik baik yang bisa diterapkan:
• Pemberlakuan sistem peringatan berbasis tingkat risiko
Misalnya dengan pendekatan bertahap seperti: “Siaga”, “Siap Evakuasi”, “Segera Evakuasi”, dan “Darurat Bencana”. Sistem seperti ini—yang juga umum digunakan dalam peringatan topan—bisa diperkuat dengan penggunaan kode warna (hijau, kuning, oranye, merah) untuk mempermudah pemahaman publik secara visual.
• Lokalisasi peringatan
Peringatan harus menggunakan bahasa yang dimengerti masyarakat setempat dan disesuaikan dengan konteks geografis, mata pencaharian, dan kerentanan komunitas. Apa yang relevan untuk petani berbeda dengan yang relevan untuk pekerja informal di kota.
• Penerapan sistem komunikasi dua arah
Sistem peringatan seharusnya tidak satu arah. Warga perlu diberikan ruang untuk memberikan umpan balik, konfirmasi, atau melaporkan kondisi mereka. Ini tidak hanya membangun kepercayaan, tapi juga membuat sistem lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata di lapangan.
• Integrasi perspektif perlindungan kelompok rentan
Peringatan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, lansia, atau anak-anak. Bukan hanya memberitahu bahwa “hujan deras akan terjadi,” tetapi juga menjelaskan apa artinya bagi mereka, dan bagaimana mereka bisa tetap aman.
• Instruksi yang jelas dan dapat ditindaklanjuti
Setiap peringatan seharusnya menjawab empat pertanyaan utama: apa yang terjadi, di mana, kapan, dan apa yang harus saya lakukan? Tanpa kejelasan ini, peringatan hanya menjadi informasi pasif—bukan pemicu aksi penyelamatan.
Saatnya Strategi Baru: Komunikasi Risiko yang Responsif dan Kolaboratif
Hal ini bukan hanya tanggung jawab satu instansi. Ini adalah tugas bersama berbagai kementerian dan lembaga serta organisasi non-pemerintah. Mulai dari yang mengumpulkan data cuaca, menganalisis, menyalurkan informasi ke publik, hingga yang memantau apakah informasi ini diterima dan ditindaklanjuti.
Kita perlu mengubah pola kerja menjadi kolaboratif, lintas sektor, efektif, dan berbasis tanggung jawab bersama.Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan masyarakat yang tidak "merespons peringatan". Karena banyak situasi menunjukkan peringatannya memang tidak bisa dipahami, tidak relevan, dan tidak jelas untuk ditindaklanjuti. Solusinya bukan sekadar menambah jumlah pesan, tapi meningkatkan kualitas komunikasi risiko yang membumi dan manusiawi.
Kita perlu mengingat bahwa ini baru awal dari musim hujan. Jika pada fase awal saja kita sudah melihat kekacauan informasi, banjir meluas, dan peringatan yang diabaikan, maka bagaimana kita akan menghadapi puncaknya nanti?
Waktunya memperbaiki sistem peringatan dini secara menyeluruh — bukan hanya dari sisi teknologi dan prediksi, tetapi juga dari cara kita berkomunikasi dengan masyarakat. Sistem peringatan dini yang efektif bukan hanya soal ketepatan cuaca, tapi juga soal kejelasan pesan, kepercayaan publik, dan kesiapan bertindak. Tanpa perubahan nyata, kita hanya akan mengulang pol...