DIREKTUR Pusat Kajian Kurikulum Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang Edi Subkhan mengkritik rencana Presiden Prabowo Subianto yang hendak memperbanyak Sekolah Menengah Atas Taruna Nusantara. Edi mengatakan Presiden Prabowo seharusnya lebih fokus meningkatkan kualistas pendidikan di sekolah umum yang sudah ada daripada membangun sekolah baru sejenis semi militer tersebut.
Ia mengatakan rencana Prabowo tersebut akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi pendidikan di APBN pasti akan diserap untuk membiayai penambahan SMA Taruna Nusantara itu, ditambah lagi Sekolah Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat di Kementerian Sosial.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Pemerintah sekarang lebih suka mencoba buat suatu yang baru, tapi lupa bahwa kita sudah punya banyak sekolah. Ribuan sekolah negeri di seluruh penjuru nusantara ini yang seharusnya diperhatikan,” kata Edi, pada Senin, 18 Agustus 2025.
Saat berpidato di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Senayan, pada Jumat, 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo mengatakan pemerintah akan membangun banyak SMA Nusantara hingga ke pelosok. SMA Taruna Nusantara yang dimaksud terafiliasi dengan SMA Nusantara di Magelang, Jawa Tengah. SMA Taruna Nusantara di Magelang itu berada di bawah Yayasan Pengembangan Sumber Daya Pertahanan.
Prabowo menyebutkan saat ini pemerintah membangun 100 Sekolah Rakyat, 20 Sekolah Unggul Garuda, dan 80 Sekolah Unggul Garuda Tranformasi.
Edi Subkhan berpendapat, SMA Taruna Nusantara hanya fokus menyiapkan birokrat yang berkarier di pemerintahan, terutama militer. Ia mengatakan meski alumni SMA Taruna Nusantara ada yang menjadi pengusaha, tetapi lulusan sekolah itu tidak cendrung berkiprah di bidang bisnis. Sehingga ia menilai rencana menambah jumlah sekolah sem imiliter ini tidak akan mampu mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan Indonesia.
“Pemerintah perlu mengidentifikasi dimana letak ketertinggalan kita di bidang pendidikan,” kata dia.
Hasil identifikasi tersebut, kata Edi, pemerintah akan menemukan formulasi menyelesaikan ketertinggalan pendidikan di Tanah Air. Sehingga pemerintah tidak serta-merta mengadopsi mentah-mentah sistem pendidikan di Finlandia, Australia, maupun Amerika Serikat. Sebab, latar sejarah politik dan budaya mereka dalam mereformasi sistem pendidikan berbeda dengan Indonesia.
“Kalau kita lemah di literasi dan numerasi, yang diperbaiki (adalah) kurikulum, kualitas guru, pembelajaran, ruang kelas, ketersediaan bahan bacaan di sekolah, dan lainnya,” ujar Edi.
Menurut Edi, mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan bukan dengan jalan membangun sekolah semi militer model SMA Taruna Nusantara. Ia menjelaskan, tidak semua sekolah negeri bisa dibelokkan menjadi sekolah semi militer karena tujuan pendiriannya tidak sama.
Edi memaklumi obsesi Prabowo untuk memperbanyak SMA Taruna Nusantara karena latar belakangnya sebagai purnawirawan Tentara Nasional Indonesia. Ia menduga latar belakang itu yang membuat pemerintahan Prabowo cendrung mendorong "militerisasi" pendidikan.
Di samping akan memperbanyak SMA Taruna Nusantara, kata dia, pemerintahan Prabowo juga membangun Sekolah Rakyat yang berasrama hingga program TNI masuk kampus. Bahkan, Gubernur Jawa Barat yang juga kader Partai Gerindra, Dedi Mulyadi, bekerja sama dengan TNI di berbagai program bidang pendidikan. Misalnya, mengirim siswa bermasalah ke barak militer.
“Menurut saya ini bukan solusi. Setiap daerah itu butuh respons yang sifatnya kontekstual sekaligus visinya global. Buat apa mendirikan sekolah semi militer di daerah yang potensi maritimnya kaya, mending mendirikan sekolah maritim di situ,” ujar Edi.
Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri juga megkiritik rencana pemerintahan Prabowo untuk memperbanyak SMA Taruna Nusantara. Ia mengatakan saat ini belum mendesak untuk memperbanyak SMA Taruna Nusantara maupun Sekolah Unggulan Garuda. Sebab, masih banyak sekolah umum yang justru membutuhkan perhatian serius pemerintah.
“Kita tahu hampir 60 persen kondisi sekolah dalam keadaan rusak, baik ringan, sedang, maupun parah,” kata Iman, pada Sabtu, 16 Agustus 2025.
Iman juga mempertanyakan alokasi revitalisasi sekolah dan madrasah di dalam Rancangan RAPBN sebesar Rp 22 triliun. Anggaran revitalisasi seluruh sekolah itu sangat rendah jika dibandingkan dengan dana Sekolah Rakyat yang mencapai Rp 24 triliun pada 2026.
"Angkanya lebih kecil lagi kalau dihitung satuan per sekolah dibandingan dengan SMA Unggulan Garuda,” ujar Imam.
Ia khawatir fasilitas dan kualitas pendidikan di sekolah umum akan terabaikan dengan rencana pemerintah menambah SMA Taruna Nusantara. “Kami melihat refocusing anggaran yang mengedepankan sekolah-sekolah model lain, termasuk model semi militer, tidak sesuai dengan kebutuhan dan masalah pendidikan kita,” kata Imam. “Kami kira ini refocusing yang keliru.”
Menurut Iman, jika ingin mengejar ketertinggalan di bidang sains dan teknologi, pemerintah sebaiknya meningkatkan kualitas pengajar sekolah umum dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika atau STEM.
“Seharusnya kualitas pendidikan dan pendidiknya yang diutamakan agar peningkatan sains dan teknologi bisa terwujud, bukan justru menambah sekolah semi militer,” katanya.
Dede Leni Mardiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Mengapa Prabowo Menunjuk Sugiono Menjadi Menteri Luar Negeri