Jakarta (ANTARA) - Thailand dan Kamboja sepakat menghentikan konflik dua negara melalui penerapan gencatan senjata, yang berlaku mulai tengah malam nanti.
Belum lama ini, ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja pecah pada 24 Juli 2025. Bentrokan bersenjata di antara kedua pihak pun tak terhindarkan.
Hingga Minggu (27/7), konflik yang terjadi antara pasukan Thailand dan Kamboja itu telah menewaskan hingga 35 orang, dengan 22 orang tewas di pihak Thailand, dan 13 orang tewas dari pihak Kamboja.
Selain total ratusan korban luka-luka, konflik tersebut juga menyebabkan puluhan ribu orang telah mengungsi dari kedua belah pihak.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut adalah serba-serbi tentang kronologi hingga latar belakang terjadinya konflik antara Thailand dan Kamboja.
1. Kronologi
Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Dr. Darmansjah Djumala dalam keterangannya menyatakan konflik antara Thailand dan Kamboja bermula ketika tentara Thailand terjebak ranjau darat di perbatasan. Thailand menuduh Kamboja memasang ranjau. Namun, Kamboja membantah.
Sebagai tanda protes Thailand menarik pulang dubesnya di Phnom Penh dan mengusir dubes Kamboja di Bangkok.
Sejumlah media memberitakan Kamboja menembaki pangkalan militer Thailand dekat candi Ta Muen Thom.
Sebagai balasan Thailand menjatuhkan bom ke instalasi militer Kamboja dekat candi Preah Vihear, yang juga terletak dekat perbatasan kedua negara.
Hingga kini kedua belah pihak masih saling tuduh siapa yang mulai menyerang.
2. Konflik warisan budaya
Darmansjah, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Wina dan PBB itu menyatakan konflik Thailand-Kamboja di kompleks candi Preah Vihear dan Ta Muen Thom merupakan konflik yang dipicu oleh warisan budaya (cultural heritage) berupa candi-candi yang berlokasi di sepanjang perbatasan kedua negara.
Konflik atas kedua candi yang merupakan produk menunjukkan betapa Thailand dan Kamboja sangat memperhitungkan faktor budaya dalam hubungan luar negerinya.
Persepsi strategis Thailand dan Kamboja terhadap produk budaya itu ternyata menentukan cara mereka bertindak dalam penyelesaian konflik. Tak segan menggunakan kekerasan, kata Darmansjah.
Candi berusia 900 tahun dan dibangun oleh peradaban bangsa Khmer itu dijadikan sebagai simbol kebanggaan bagi bangsa Kamboja. Bagi Kamboja, kebanggaan ini adalah kebutuhan psikologi politik untuk mempersatukan bangsa.
Politik identitas berlatar kultural inilah yang mendorong Kamboja untuk ngotot mempertahankan Candi Preah Vihear, sekalipun dengan konflik senjata.
3. Sengketa perbatasan
Thailand dan Kamboja memiliki sejarah panjang pertikaian diplomatik atas wilayah perbatasan bersama mereka yang tidak dibatasi sepanjang 817 kilometer.
Dosen di Institut Studi Perdamaian Universitas Pangeran Songkhla, Associate Professor Chokchai Wongtanee mengatakan konflik antara Thailand dan Kamboja bermula dari sengketa perbatasan yang telah berlangsung lama dan tumpang tindih peta warisan era kolonialisme Prancis.
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja itu mencapai puncaknya pada Kamis (24/7) dengan bentrokan bersenjata di sepanjang perbatasan utara Kamboja.
Oleh karena itu, Chokchai berpendapat bahwa cara terbaik untuk mengatasi krisis perbatasan tersebut adalah melalui ASEAN dan perantara Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim sebagai pihak ketiga dalam perundingan perdamaian atas konflik tersebut.
"Kedua negara harus memanfaatkan niat baik yang terjalin di antara negara-negara anggota ASEAN untuk bernegosiasi dan mencari resolusi yang dapat mengarah pada perdamaian, bukan perang," ujarnya.
Menurut Chokchai, hal terpenting saat ini adalah agar kedua negara menghentikan pertempuran dan memulihkan perdamaian, lalu menggunakan pendekatan diplomatik dan politik untuk menyelesaikan perselisihan.
4. Peran ASEAN dalam penyelesaian konflik
ASEAN, sebagai platform diplomatik yang dipercaya oleh komunitas internasional memainkan peran krusial dalam penanganan krisis perbatasan antara Thailand dan Kamboja.
Direktur Institut Studi Asia Timur Universitas Thammasat, Associate Professor Dr. Chaiwat Meesanthan mengatakan bahwa Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, sebagai Ketua ASEAN saat ini, dapat berperan sebagai mediator untuk mempertemukan kedua belah pihak di meja perundingan.
"Hal ini membantu menumbuhkan keyakinan bahwa proses penyelesaian konflik dilakukan secara adil dan transparan. Meskipun demikian, resolusi yang sesungguhnya masih bergantung pada ketulusan dan kesediaan pemerintah Thailand dan Kamboja untuk bekerja sama," ujarnya kepada Bernama.
Chaiwat menjelaskan bahwa ASEAN hanya dapat melakukan intervensi dengan persetujuan bersama kedua belah pihak.
"Resolusi jangka panjang membutuhkan negosiasi yang berkelanjutan dan tulus antara kedua negara.
"Mekanisme seperti Komite Perbatasan Bersama (JBC) atau pembentukan komite khusus yang melibatkan pihak ketiga seperti ASEAN dapat bertindak sebagai mediator, pengamat, dan penjaga dalam negosiasi," ujarnya.
Chaiwat menekankan bahwa kepatuhan terhadap hukum internasional, seperti putusan Mahkamah Internasional (ICJ) terkait Kuil Preah Vihear, juga krusial.
"Upaya-upaya seperti demarkasi bersama dan pembangunan ekonomi kolaboratif di wilayah sengketa dapat menciptakan situasi yang saling menguntungkan tanpa memerlukan penggunaan kekuatan," imbuhnya.
Baca juga: Kemlu sebut Indonesia terlibat aktif redakan konflik Thailand-Kamboja
Baca juga: Thailand-Kamboja sepakat akhiri konflik
Baca juga: Pengungsi Kamboja capai 80.000 orang saat konflik dengan Thailand
Baca juga: Bentrokan bersenjata Kamboja-Thailand berlanjut, korban tewas 35 orang
Pewarta: Katriana
Editor: Martha Herlinawati Simanjuntak
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.