
SAKSI ahli yang dihadirkan dalam sidang perkara korupsi impor gula mengungkap kelemahan mendasar dalam dakwaan penuntut umum. Guru Besar Kebijakan Pajak Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, menyatakan bahwa seluruh pungutan negara yang dianggap sebagai kerugian negara oleh jaksa, pada kenyataannya bukanlah penerimaan final dan akan dikembalikan kepada perusahaan melalui mekanisme perpajakan yang berlaku.
Di depan majelis hakim,Haula menjelaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh Pasal 22 atas impor yang dibayar oleh perusahaan, sama sekali bukan uang yang hilang bagi negara.
"PPN yang dibayar pada saat impor adalah pajak masukan yang akan dikreditkan. Mekanismenya diatur dalam Pasal 16A UU PPN. Dengan kata lain, uang ini akan dikembalikan kepada perusahaan (terdakwa) dalam mekanisme perpajakan normal," tegas Haula di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Hal serupa juga berlaku untuk PPh Pasal 22 Impor, yang berstatus sebagai angsuran pajak atau kredit pajak yang akan mengurangi kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Badan di akhir tahun.
"Dakwaan yang menyatakan angka Rp 63 miliar lebih sebagai kerugian negara adalah keliru. Perhitungan jaksa mengabaikan hak-hak fiskal terdakwa sebagai wajib pajak. Sebagian besar dari nilai tersebut seharusnya tidak dianggap sebagai kerugian karena sifatnya yang sementara dan akan dikembalikan," lanjutnya.
Haula juga menegaskan bahwa Bea Masuk yang dibayar, sebagaimana tercantum dalam dokumen impor, merupakan bagian dari biaya yang dapat dibebankan. Biaya ini akan mengurangi penghasilan kena pajak perusahaan, yang merupakan hal yang sah dan diatur dalam undang-undang perpajakan.
"Dengan demikian, logika yang menyatakan Bea Masuk sepenuhnya menjadi 'kerugian' juga tidak tepat, karena ia berpengaruh pada penghitungan pajak penghasilan yang lebih rendah. Negara tidak kehilangan, tetapi menerimanya dalam pos dan siklus akuntansi yang berbeda," paparnya.
Ia juga menyoroti fakta bahwa kegiatan impor yang dilakukan terdakwa telah memenuhi semua persyaratan administrasi dan mendapat persetujuan dari instansi berwenang, dalam hal ini Bea Cukai.
"Bea Cukai, sebagai ujung tombak pengawasan, telah menerbitkan semua dokumen dan memungut semua pajak yang menjadi kewajiban. Ini adalah bukti bahwa importasi ini diakui dan dilegalkan oleh negara. Jika memang barangnya terlarang, Bea Cukai memiliki kewenangan untuk tidak merilis barang sama sekali," ujar Prof. Haula.
Ahli juga mengkritik keras cara penanganan perkara ini yang dinilai melompati mekanisme penyelesaian sengketa pajak yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
"Dalam pajak, ada asas ultimum remedium (upaya terakhir). Sebelum masuk ke ranah pidana, harusnya diselesaikan dulu melalui jalur administratif. Ada mekanisme pemeriksaan, pembahasan akhir (closing conference), keberatan, dan banding. Langsung menjeratnya sebagai tindak pidana korupsi tanpa melalui proses itu adalah sebuah kesalahan prosedur yang fatal," tegasnya.
Ia menambahkan, dalam UU KUP Pasal 44B, memberikan ruang bagi wajib pajak untuk menghentikan proses pidana dengan melunasi utang pajaknya jika belum ada penyidikan, atau bahkan setelahnya.
Pada intinya, kesaksian Prof. Haula Rosdiana memberikan angin segar bagi posisi terdakwa. Ahli menyimpulkan bahwa dasar perhitungan kerugian negara dalam dakwaan jaksa penuntut umum cacat hukum dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi dan perpajakan yang berlaku.
"Jika mekanisme perpajakan dijalankan dengan benar, angka yang disebut sebagai 'kerugian negara' itu sebagian besar adalah kewajiban sementara yang akan dikembalikan atau faktor pengurang yang sah. Oleh karena itu, sangat dipertanyakan apakah unsur kerugian negara dalam dakwaan korupsi ini dapat dibuktikan," kata Haula. (P-4)