Jakarta (ANTARA) - Presiden Direktur PT Doo Financial Futures Ariston Tjendra memperkirakan nilai tukar (kurs) rupiah melemah dipengaruhi data indikator inflasi Amerika Serikat (AS) lebih tinggi dari ekspektasi.
“Semalam data indikator inflasi AS bulan Juni yaitu Core PCE (Personal Consumption Expenditures) Price Index yoy (year on year) dirilis lebih tinggi dari ekspektasi atau tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya, naik 2,8 persen (dari) 2,7 persen,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Mengutip Xinhua, kenaikan inflasi AS disebabkan pertimbangan Federal Reserve (The Fed) apakah akan mempertahankan atau menurunkan suku bunga pada akhir tahun ini. Data tersebut muncul sehari pasca The Fed mengumumkan untuk tetap mempertahankan suku bunga.
Secara tahunan, PCE naik menjadi 2,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan. Adapun PCE Inti, naik 0,3 persen secara bulanan dan 2,8 persen yoy.
“Data klaim tunjangan pengangguran mingguan juga bagus, menunjukkan jumlah klaim yang lebih rendah dari ekspektasi 218 ribu (dari) 222 ribu. Data ini memberikan dukungan untuk Bank Sentral AS tidak menurunkan suku bunganya dalam waktu dekat, jadi mendukung penguatan dolar AS,” kata Ariston.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kurs rupiah berkisar Rp16.450-Rp16.500 per dolar AS dengan potensi support di angka Rp16.350 per dolar AS.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Jumat pagi di Jakarta melemah sebesar 59 poin atau 0,36 persen menjadi Rp16.515 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.456 per dolar AS.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.