
DATA statistik bukan sekadar angka, melainkan narasi yang membentuk persepsi dan arah kebijakan. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) RI Amalia Adininggar Widyasanti dalam Forum Diskusi Membaca Kinerja Ekonomi Indonesia di Tengah Dinamika Perilaku Konsumen dan Inovasi Teknologi di Jakarta, Jumat (1/8).
Ia menekankan bahwa data yang disampaikan oleh BPS selalu akurat dan disusun secara komprehensif. Dalam membaca dan memaknai data yang dihasilkan BPS, ucapnya, data hasil survei tersebut tidak bisa dipahami secara parsial.
“Data tidak bisa diambil sepotong-sepotong. Harus dicermati secara utuh agar dapat dimaknai dengan benar,” ujarnya.
Wakil Kepala BPS Sonny Harry Budiutomo Harmadi mengungkapkan, bahwa BPS terus melakukan modernisasi dalam proses statistik.
“Ketergantungan terhadap survei memang mulai berkurang, tapi kemampuan menghasilkan data justru meningkat berkat pemanfaatan data administratif, big data, dan kecerdasan buatan (AI),” jelasnya.
Sonny menambahkan, saat ini banyak negara mendorong agar National Statistical Office (NSO) seperti BPS berperan lebih aktif dalam menyajikan statistik yang relevan bagi masyarakat. BPS telah mulai menerapkan AI sejak tahap desain survei hingga proses analisis data.
Data sebagai Dasar Intervensi Pemerintah
Sony menjelaskan, BPS juga telah mengintegrasikan data mikro secara nasional. Sejak 2025, sesuai arahan Presiden, data tunggal berbasis by name by address mencakup 285,5 juta individu atau sekitar 93 juta keluarga.
“Data ini menjadi fondasi intervensi sosial yang lebih tepat sasaran,” tambah Sonny.
Selain itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang melibatkan ratusan ribu responden digunakan untuk menghasilkan indikator makro seperti tingkat kemiskinan dan ketenagakerjaan.
Jangan Terjebak Indikator Tradisional
Sony juga mengingatkan bahwa pembacaan data ekonomi tidak boleh terpaku pada indikator konvensional.
“Kita tidak hanya melihat angka, tapi juga tren. Misalnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang melambat, tapi ada perubahan pola konsumsi yang perlu dibaca lebih dalam,” ujarnya.
Ia menyoroti pergeseran konsumsi dari barang ke pengalaman, seperti meningkatnya proporsi pengeluaran rumah tangga untuk traveling dari 22% pada 2022 menjadi 35% pada 2024 di kelompok pengeluaran tertinggi (desil 10).
“Orang lebih memilih berinvestasi pada aset yang likuid seperti emas, dibanding kendaraan bermotor,” katanya.
Perlu Lebih Rinci dan Transparan
Sementara itu, ekonom senior dan pendiri CORE, Hendri Saparini, menyebut BPS perlu menjelaskan lebih rinci terkait data-data yang dikeluarkan. Semisal, BPS telah menangkap potret adanya perpindahan konsumsi.
"Tentu perlu dipotret kategori pendapatan seperti apa yang beralih membeli mobil dari pada rumah maupun yang lebih memilih traveling daripada membeli aset. Sehingga pemerintah yang saat ini tengah menggencarkan pembangunan 3 juta rumah tidak salah membuat kebijakan," tuturnya.
Hendri juga mendorong agar data sektor ketenagakerjaan dibuka secara lebih rinci. “Industri pengolahan memang jadi tiga besar sektor penyerap tenaga kerja, tapi kita perlu tahu subsektornya apa saja. Ini penting untuk pemetaan dan alokasi APBN yang mendukung UMKM,” tegasnya. (E-4)