
Mahkamah Konstitusi merombak sistem kepemiluan Indonesia. MK memutus menggabungkan Pileg DPRD provinsi, kabupaten/kota dengan Pilkada.
Sebelumya, Pileg DPRD provinsi, kabupaten/kota digelar bersamaan dengan Pileg DPR RI, DPD dan Pilpres. Sedangkan Pilkada digelar terpisah.
Selain itu, ada jeda paling cepat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan dari penyelenggaraan Pileg DPR RI, DPD dan Pilpres menuju Pileg DPRD dan Pilkada sejak anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden dilantik.
Keputusan ini berdasarkan sidang putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.

Gugatan dilayangkan Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam hal ini diwakili Khoirunnisa Nur Agustyati sebagai Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irmalidarti sebagai Bendahara Pengurus Yayasan Perludem.
MK membeberkan pertimbangan mereka mengapa menggabungkan Pileg DPRD provinsi, kabupaten/kota dengan Pilkada dan memberi jeda waktu paling cepat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan, pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah hasil pemilihan 27 November 2024 serta masa jabatan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota hasil pemilihan 14 Februari 2024 memiliki berbagai dampak.
"Maka penentuan dan perumusan masa transisi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur dengan melakukan rekayasa konstitusional berkenaan masa jabatan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, termasuk jabatan gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional," kata Saldi saat membacakan putusan dalam sidang gugatan MK di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6).

Saldi menuturkan, dalam kaitan itu, MK menegaskan penyelenggaraan pemilu presiden/wakil presiden, anggota DPR dan anggota DPD yang terpisah dari waktu penyelenggaraan pemilu gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, dan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dilaksanakan sejak pemilu 2029 untuk pemilihan anggota DPR, anggota DPD, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
"Sedangkan pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan pemilu gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum yang selanjutnya dinyatakan dalam amar putusan a quo," tutur dia.

Atas dasar ini, MK menilai Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU 7 tahun 2017 serta Pasal 3 ayat 1 UU 8 tahun 2015 sepanjang berkenaan dengan model keserentakan model penyelenggaraan pemilu serentak harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ke depan sepanjang tidak dimaknai 'pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelah dilaksanakan pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPR, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota," kata Saldi.
MK menekankan, Pasal 1 ayat 1, Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU 7 tahun 2017 serta Pasal 3 ayat 1 UU 8 tahun 2015 belum dapat mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat yang ideal, pemilu yang demokratis sebagaimana diatur Pasal 1 ayat 2, Pasal 18 ayat 4, Pasal 22E ayat 1 dan ayat 5.
"Serta persamaan di hadapan hukum dan pemerintah dan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D ayat 1 UUD NRI 1945 seperti yang didalilkan pemohon," ucap Saldi.

Pertimbangan MK Beri Jeda Paling Cepat 2 Tahun
Sementara terkait pertimbangan pemberian jeda paling cepat 2 tahun dan paling lama 2 tahun bulan, MK mengatakan sebenarnya wewenang untuk menentukan batas jeda waktu pelaksaan pemilu merupakan ranah pembentuk Undang-undang.
Meski begitu, MK mempunyai pertimbangan berdasarkan pengalaman Pemilu DPR, DPD, presiden dan wakil presiden serta pemilihan DPRD provinsi, kabupaten/kota, pada 14 Februari 2024 yang masih berdekatan atau masih dalam tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota, telah menimbulkan masalah.
"Sehingga menurut mahkamah, penentuan jarak/tenggang waktu penyelenggaraan pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota, harus didasarkan pada berakhirnya tahapan pemilu anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden," kata Saldi.

Dasar perimbangan hukum MK, pelantikan anggota DPR dan DPD, presiden dan wakil presiden bisa diposisikan sebagai akhir dari tahapan pemilu sebelumnya.
"Dengan dasar pertimbangan hukum tersebut, maka pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR, anggota DPD, atau sejak pelantikan presiden dan wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota," kata Saldi Isra.