TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK kembali menjadwalkan menggelar sidang lanjutan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) pada hari ini, Kamis 31 Juli 2025. Dilansir dari laman resmi MK, sidang akan dimulai pukul 13:30 WIB dengan agenda mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pihak terkait.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan ini diajukan oleh Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (BKS Dekan FH-PTN Se-Indonesia) bersama delapan dosen dan tiga mahasiswa. Mereka menggugat aturan tentang akreditasi pendidikan yang bisa dilakukan oleh dua pihak, yaitu pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang punya wewenang.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 ayat (2) UU Sisdiknas bersyarat inkonstitusional, jika tidak dimaknai bahwa “akreditasi program dan satuan pendidikan harus dilakukan oleh Pemerintah.” Mereka juga meminta agar Pasal 55 ayat (5) UU Dikti dinyatakan inkonstitusional bersyarat, jika tidak dimaknai “akreditasi program studi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).”
Selain itu, para Pemohon ingin agar Pasal 55 ayat (6) dan (7) UU Dikti dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terakhir, mereka meminta agar frasa “lembaga akreditasi mandiri” dalam Pasal 55 ayat (8) UU Dikti juga dinyatakan inkonstitusional bersyarat, jika tidak dimaknai bahwa ”Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.”
Dalam sidang sebelumnya pada 23 Juli 2025, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, menegaskan bahwa pelibatan masyarakat dalam akreditasi program studi bukan berarti pemerintah lepas tangan. “Tidak ada pelepasan tanggung jawab negara dalam penjaminan mutu pendidikan meskipun akreditasi eksternal dilakukan oleh yang merupakan bentuk akuntabilitas publik yang terpercaya,” ujar Brian dikutip dari situs resmi MK.
Menurut Brian, negara tetap bertanggung jawab atas mutu pendidikan, meskipun proses akreditasi dilakukan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). LAM dianggap sebagai bentuk akuntabilitas publik yang bisa dipercaya.
Ia menjelaskan bahwa konstitusi memberi ruang kepada pembuat undang-undang untuk menentukan sistem pendidikan nasional. Meski sistem tersebut ditetapkan oleh pemerintah, pengembangan ilmu pengetahuan bukanlah milik negara semata.
Perguruan tinggi, dunia profesi, dan dunia kerja juga punya peran penting dalam pengembangan ilmu yang bersifat terbuka dan dinamis. Brian menyebut, menolak peran masyarakat dalam pendidikan justru bisa mengarah pada dominasi negara secara mutlak.
LAM, lanjutnya, dibentuk untuk mendukung akuntabilitas publik serta mencegah konflik kepentingan antara lembaga pendidikan dengan pihak penilai mutu. Ini menjadi bagian penting dari tata kelola pendidikan tinggi di era global.
Melalui Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, pemerintah memastikan bahwa LAM yang dibentuk benar-benar memiliki kapasitas dan substansi yang sesuai untuk menjalankan akreditasi. Pemerintah juga memiliki kewenangan menyetujui atau menolak pendirian LAM, termasuk menyetujui biaya akreditasi yang diajukan.
Selain itu, pemerintah tetap mengawasi kinerja LAM melalui dua jalur. Pertama, pengawasan oleh Menteri terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi LAM sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023. Kedua, evaluasi oleh BAN-PT terhadap pelaksanaan akreditasi oleh LAM, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) peraturan yang sama.
Dengan adanya aturan tersebut, pemerintah memastikan bahwa proses akreditasi dilakukan secara profesional, independen, objektif, dan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti).
Akademisi asal Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga menjelaskan bahwa akreditasi perguruan tinggi dan program studi memang dibedakan karena keduanya menilai aspek yang berbeda.
Akreditasi program studi fokus pada mutu masing-masing jurusan, sedangkan akreditasi perguruan tinggi menilai tata kelola dan manajemen institusi secara menyeluruh.
Walaupun terpisah, keduanya tetap saling berkaitan dan mendukung. Ia menekankan bahwa desain regulasi dalam UU Dikti memang mengatur agar kedua jenis akreditasi ini tetap terintegrasi, seperti yang tertuang dalam Pasal 55 ayat (3) UU Dikti.