
Apakah kalian pernah dengar soal transmigrasi? Kalau iya, mungkin yang langsung terbayang adalah program zaman dulu, memindahkan orang dari Jawa ke luar Jawa, lalu diberikan rumah dan lahan. Tapi sekarang, transmigrasi sudah berubah total. Bukan lagi sekadar pindah tempat, tapi soal membangun kawasan. Kawasan yang punya potensi untuk jadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Saya ingin mengajak kita semua berpikir, Indonesia ini luas sekali, punya sumber daya alam yang melimpah. Tapi kenapa masih banyak wilayah yang tertinggal? Jawabannya sederhana, kekayaan alam saja tidak cukup. Kita butuh sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan pembangunan yang merata. Di sinilah transmigrasi punya peran strategis di era sekarang.
Bukan Sekadar Pindah Penduduk
Dulu, transmigrasi identik dengan pindah penduduk. Sekarang? Lebih dari itu. Transmigrasi sudah menjadi bagian dari strategi pembangunan wilayah. Di era Presiden Prabowo, pendekatannya juga sudah berubah. Orang-orang muda yang produktif, punya keterampilan, dan semangat kerja, ditempatkan di wilayah-wilayah potensial yang sebelumnya belum tergarap maksimal.
Tujuannya? Bukan hanya agar persebaran penduduk lebih merata, tapi supaya wilayah-wilayah baru bisa tumbuh menjadi simpul-simpul ekonomi. Jadi bukan cuma memindahkan orang, tapi juga menumbuhkan harapan.
Dari Kawasan Transmigrasi Lahir Kota dan Harapan Baru
Kalian tahu tidak, kota-kota seperti Mamuju, Tanjung Selor, hingga Merauke, dulunya berkembang dari kawasan transmigrasi? Sekarang, mereka telah menjadi ibu kota provinsi. Menakjubkan, bukan?
Data dari Kementerian Transmigrasi tahun 2025 menunjukkan bahwa program ini telah melahirkan 116 ibu kota kabupaten, 466 ibu kota kecamatan, dan 1.567 desa definitif. Transmigrasi menjadi salah satu pendorong nyata pembangunan daerah.
Saat ini, ada 153 kawasan transmigrasi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing kawasan punya potensi yang unik. Misalnya Sei Menggaris di Kalimantan Utara yang sangat strategis karena berada di perbatasan negara, atau Salor di Merauke yang kini dikembangkan sebagai kawasan pertanian tematik. Bahkan ada juga kawasan yang potensial di sektor pariwisata, kelautan, hingga energi terbarukan.

Ilmu Geografi Jadi Landasan
Sebagai lulusan geografi, saya percaya bahwa kalau ingin membangun kawasan yang kokoh, kita harus memahami wilayah itu secara menyeluruh. Tidak bisa asal bangun. Karena itu, sekarang perencanaan kawasan transmigrasi dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh.
Teknologi ini membantu memetakan kontur tanah, akses jalan, potensi lahan, hingga fasilitas publik. Dengan perencanaan berbasis data, pembangunan jadi lebih presisi, hemat anggaran, dan berkelanjutan.
Selaras dengan Misi Pemerintah
Transmigrasi hari ini juga sangat selaras dengan Asta Cita atau delapan misi nasional Presiden Prabowo. Misalnya:
Asta Cita ke-6: Membangun dari desa → transmigrasi langsung menjawab ini.
Asta Cita ke-2: Kemandirian pangan, energi, dan air → transmigrasi pertanian tematik sangat relevan.
Asta Cita ke-5: Hilirisasi dan industrialisasi → transmigrasi bisa membuka jalur untuk membangun industri pengolahan lokal.
Bayangkan kalau di satu kawasan transmigrasi bisa menghasilkan kopi, padi, atau kakao, lalu hadir industri pengolahan langsung di sana. Nilai tambahnya akan tinggal di daerah. Ekonomi lokal naik, dan tidak semua orang harus pergi ke kota besar untuk mencari penghidupan. Itulah makna transformasi wilayah yang sebenarnya.
Kolaborasi Adalah Kunci
Namun tentu saja, ini semua tidak bisa dicapai sendiri. Kementerian Transmigrasi perlu berjalan bersama dengan kementerian lain, pemerintah daerah, perguruan tinggi, bahkan sektor swasta. Tidak bisa bekerja secara sektoral. Harus lintas sektor, lintas wilayah.
Transmigrasi bukan sekadar program. Ia sudah menjadi bagian dari agenda strategis nasional untuk membangun masa depan Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan.