
KOMITMEN terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan harus ditegakkan secara konsisten demi menjawab ancaman serius akibat pemanasan global.
“Krisis iklim adalah persoalan global yang tak bisa diabaikan. Indonesia harus menyikapinya secara serius,” tegas Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menakar Kesiapan NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia Menuju Conference of the Parties (COP) 30 di Brasil yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (30/7).
Menurut Lestari, tantangan besar saat ini adalah bagaimana Indonesia memenuhi target pelestarian lingkungan yang disepakati secara global.
“Sementara di dalam negeri, kerusakan lingkungan terus terjadi,” ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.
Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah, mengingatkan bahwa UUD 1945 telah memberikan pijakan kuat tentang pelestarian lingkungan.
Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 33 ayat 4, jelasnya, menegaskan perlindungan lingkungan dan hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menyerukan keterlibatan aktif semua pihak agar target kontribusi iklim nasional dapat tercapai secara nyata.
Anggota Komisi XII DPR RI, Syarif Fasha, menyoroti banyaknya hambatan teknis dalam upaya menekan dampak krisis iklim.
“Jambi punya tiga hutan lindung dan satu hutan konservasi, tapi pemerintah daerah tidak mendapat manfaat apapun. Padahal Jambi adalah paru-paru dunia,” ujarnya.
Syarif menegaskan, sektor energi adalah penyumbang emisi terbesar. Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), katanya, harus segera dioptimalkan dan tidak bergantung pada pergantian kepemimpinan.
“Kebijakan lingkungan harus konsisten, tidak berubah-ubah tiap ganti pimpinan,” tegasnya.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, KLHK, Ary Sudijanto, menjelaskan, Indonesia sudah meratifikasi Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris. Namun, jika Protokol Kyoto hanya mengikat sebagian negara, Perjanjian Paris mewajibkan seluruh anggota, termasuk Indonesia, untuk menurunkan emisi.
Ary merinci, pengurangan emisi harus mencakup lima sektor: energi, limbah, IPPU, pertanian, dan kehutanan. Ia mengklaim submission NDC Indonesia lebih rinci dan progresif dibanding negara lain, dan berharap masukan konkret untuk dibawa ke COP 30 Brasil, November nanti.
Wakil Ketua Bidang Angkutan Umum, Organda, Andrew Arristianto, menyebutkan transportasi memiliki andil besar terhadap emisi, namun juga menyimpan solusi.
“Penggunaan angkutan umum harus diperluas. Sayangnya, masih banyak daerah minim akses,” katanya.
Ia mendorong pembukaan rute baru, peningkatan armada, SOP yang jelas, dan kualitas transportasi publik agar pengurangan emisi bersifat jangka panjang.
Kepala Divisi Manajer Pelibatan Publik WALHI, Adam Kurniawan, mengingatkan bahwa kebijakan iklim harus adil bagi masyarakat.
“Jangan sampai kebijakan menekan emisi malah mengorbankan akses hidup warga,” ujarnya.
Ia menyebut kebijakan biofuel dan perluasan sawit sebagai solusi palsu yang merusak hutan. NDC, tegas Adam, bukan sekadar angka, tapi soal keadilan lingkungan.
Wartawan Media Indonesia Bidang Lingkungan Hidup yang turut hadir sebagai penanggap, Indrastuti menilai pelibatan pemerintah daerah sangat penting dalam penurunan emisi. Namun, insentif bagi daerah juga diperlukan.
Ia mencatat adanya pemda yang berhasil kelola sampah berkelanjutan, namun tak sedikit pula yang masih abai.
“Interkoneksi transportasi Jakarta dan daerah sekitar harus dibangun. Kendaraan listrik masih minim di luar kota besar karena infrastruktur dan pola pikir,” katanya.
Ia menegaskan, perubahan iklim bukan hanya tanggung jawab KLHK, tapi seluruh masyarakat.
Wartawan senior, Saur Hutabarat, menilai kesadaran publik soal krisis iklim masih rendah.
“Banyak yang menganggap kenaikan suhu 1°C itu biasa. Padahal menurut para ahli, itu sudah mengkhawatirkan,” katanya.
Saur menekankan pentingnya konsistensi kebijakan energi terbarukan. “EBT bukan pilihan lagi, tapi keharusan,” tegasnya.
Ia menyoroti contoh kebijakan bahan bakar gas untuk taksi yang menghilang begitu saja, sebagai cerminan inkonsistensi yang harus dihentikan.