
Komisi III DPR, menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah pakar hukum membahas putusan Mahkamah Konstitusi nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisah Pemilu nasional dan lokal.
Pakar yang hadir yakni eks hakim MK Patrialis Akbar, advokat sekaligus politikus NasDem Taufik Basari (Tobas) dan eks anggota MPR Valina Singka Subekti yang juga akademisi di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia.
Patrialis, Tobas dan Valina kompak menyatakan putusan MK nomor 135 ini melampaui kewenangan. Meski begitu, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga mau tidak mau harus dijalankan.
Rapat dipimpin langsung Ketua Komisi III Habiburokhman. Habiburokhman sempat mempertanyakan alur MK dalam memutus perkara. Bahkan, ia tidak meyakini MK dalam memutus perkara tidak melibatkan partisipasi publik secara luas.
"Secara de facto kalau kita lihat secara kasat mata MK sudah memproduksi norma, membuat UU, apakah proses tersebut (to be hear, to be consider, to be explanation) sudah dilakukan? Sejauh mana MK itu memaksimalisasi partisipasi publik?" kata Habiburokhman dalam rapat di Gedung DPR, Jumat (4/7).

Komisi III Klaim Lebih Transparan Dibanding MK
Politikus Gerindra ini mengeklaim, DPR masih lebih transparan dalam menyusun UU dibanding MK yang memutus UU. Ia pun membeberkan bagaimana proses Komisi III membahas revisi UU KUHAP yang masih berjalan.
"Kami saja membentuk KUHAP Yang Mulia, saya panggil Pak Patrialis ini, kami membentuk UU KUHAP, sudah hampir 60 organisasi menyampaikan pendapat, apakah MK mempraktikkan hal yang sama? Menurut saya tidak, ya," ucap Habiburokhman.
"Bahkan dalam perkara, masing-masing perkara ahli yang dipanggil paling 2-3 orang ahli gitu, apakah dia (MK) mengundang masyarakat untuk menyampaikan partisipasi seluas-luasnya? Kita tidak melihat itu," tambah dia.
Habiburokhman menuturkan, UU secara filosofis, dibentuk berdasarkan kesepakatan warga negara melalui DPR. Artinya tidak mudah bagi DPR membentuk UU.
"Wakil rakyat untuk merumuskan UU itu, dibikin proses yang begitu panjang, kalau tiba-tiba MK yang tidak dipilih rakyat 3 orang ditunjuk pemerintah, 3 orang diajukan MA, 3 orang dari DPR, konteks partisipasi publik dan representasinya seperti apa?" kata Habiburokhman.

Komisi III Pertimbangkan Tak Jalankan Putusan MK
Anggota Komisi III Martin Daniel Tumbeleka mengatakan, putusan MK ini menjadi polemik. Ia menyebut, dirinya ditanya oleh masyarakat terkait sikap Komisi III menyikapi putusan MK.
"Saya melihat tadi sama putusan yang dari MK ini bisa dibilang melanggar konstitusi, saya baca ada putusan yang sifatnya MK melampaui kewenangan dalam memberikan putusan soal pemisahan ini dan saya bertanya-tanya tadi," ucap Martin.
Politikus Gerindra ini menyebut, jika putusan MK melampaui kewenangan, apakah DPR berhak untuk tidak menjalankan putusan MK.
"Kita di DPR mendengar, bahwa putusan 135 tidak menggugurkan putusan MK sebelumnya, di situ kita dapat pandangan, putusan yang diputuskan MK, tidak seharusnya dilakukan karena ada pasal yang diputus MK di UU sebelumnya juga berlaku," kata Martin.
"Saya ingin mendapat pandangan terkait ini, dengan ada putusan seperti ini, bagaimana misal apabila misal ada sikap dari DPR misal, tidak bisa menjalankan putusan MK dikarenakan putusan MK ini melanggar konstitusi? apakah bisa pandangan itu disampaikan?" tutur Martin.
PDIP Sebut Putusan MK Bertentangan dengan UU
Sedangkan anggota Komisi III dari PDIP Irjen (Purn) Safaruddin menilai, berdasarkan pendapat Patrialis dkk, putusan MK jelas melanggar konstitusi bahkan bertentangan dengan Undang-undang Dasar.
"Keputusan MK 135 ini melanggar konstitusi, sekarang jalan keluarnya seperti apa? Apakah bisa MK bersidang lagi buat keputusan buat menganulir keputusan MK yang 135 ini?" kata Safaruddin.
"Karena mereka membuat keputusan yang bertentangan dengan keputusan sebelumnya dan yang lebih parah lagi bertentangan dengan UUD, saya kita apa pun juga sumber dari segara sumber hukum kita UUD, ketika sesuatu yang memutus bertentangan dengan UUD, mohon pendapat apakah wajib hukumnya kita tidak melaksanakan itu? Atau jalan keluarnya MK bersidang lagi untuk menganulir keputusan 135 itu?" tanya Safaruddin.

PKB Nilai MK Bertujuan Baik, tapi...
Sementara anggota Komisi III dari PKB, Abdullah, berpandangan tujuan MK sebenarnya sudah baik dengan memisah Pemilu nasional dan lokal. Meski begitu, ia mengatakan, putusan MK ini sudah menabrak konstitusi.
"Saya menilai MK sebagai guardian of constitution punya maksud baik, tadi disampaikan ingin membentuk Pemilu yang berkualitas," kata Abdullah.
"Tapi di luar itu saya menilai terlalu gambilng dengan menghajar garis-garis konstitusi yang sudah ada. Oleh karena itu? Bagaimana jalan keluarnya ketika putusan MK 14 dan 55 diputuskan kemarin dan ada putusan baru nomor 135 kita anggota DPR harus bersikap seperti apa?" tutur Gus Abduh.

DPR Masih Kaji Putusan MK Pisah Pemilu, Belum Ada Sikap
Sebelumnya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, DPR belum memutuskan langkah bagaimana cara mereka menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang memisah Pemilu nasional dan lokal.
Dasco mengatakan, DPR masih melakukan kajian bersama pemerintah dan pihak terkait. Ia pun menjelaskan mengapa DPR tidak langsung menjalankan putusan MK ini.
"Jadi gini, keputusan MK ini bukan sekali ini aja, sudah beberapa kali yang belum dilaksanakan oleh DPR, ada untuk Pilpres misalnya yang harus kita bikin rekayasa konstitusinya, kemudian ada ini juga yang kita bikin rekayasa konstitusinya," kata Dasco.
Ketua Harian DPP Gerindra ini menuturkan, keputusan DPR tidak langsung menindaklanjuti putusan MK sudah tepat. Menurutnya, DPR masih mencari formula yang pas agar seluruh putusan MK yang belum dijalankan bisa terakomodasi.