
Proses seleksi calon anggota Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2025–2030 menuai kritik tajam. Penyebabnya, panitia seleksi (pansel) dinilai membuat aturan yang berbeda substansi dari ketentuan Undang-Undang.
Kritik tersebut muncul usai pansel mengumumkan bahwa calon anggota DK LPS tidak boleh menjadi “konsultan, pegawai, pengurus, dan/atau pemilik Bank atau Perusahaan Asuransi maupun Perusahaan Asuransi Syariah baik langsung maupun tidak langsung pada saat ditetapkan.”
Masalahnya, frasa “pada saat ditetapkan” tidak ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS. Dalam Pasal 67 huruf i, larangan tersebut disebutkan tanpa embel-embel waktu, yang berarti secara tegas melarang afiliasi apapun — sejak awal proses seleksi, bukan ketika sudah hampir ditetapkan.
Aturan Pansel Dinilai Langgar UU

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai frasa tambahan dalam pengumuman pansel adalah bentuk pelanggaran terhadap UU.
“Ini bukan perbedaan kecil. Ini pelanggaran substansial. Undang-undang itu tidak menyebut soal ‘saat ditetapkan’, jadi pansel tidak punya wewenang menambahkan tafsir semacam itu,” kata Hardjuno dalam rilis pers, Jumat (11/7).
Menurutnya, dalam sistem hukum Indonesia, aturan turunan tidak boleh mengubah isi UU. Bila memang ada keinginan mengubah syarat, mekanismenya adalah melalui revisi UU oleh DPR, bukan lewat pengumuman pansel.
“Kalau aturan ini dibiarkan, seluruh hasil seleksi bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi dan potensial dibatalkan,” ujar Hardjuno.
Belajar dari Yurisprudensi Kaesang

Hardjuno mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pencalonan Kaesang Pangarep di Pilkada karena belum memenuhi syarat usia minimum 30 tahun saat penetapan pasangan calon oleh KPU.
“Kaesang saat itu belum genap 30 tahun pada hari penetapan, dan MK langsung tolak. Itu jadi yurisprudensi penting — bahwa syarat harus sudah dipenuhi saat penetapan, bukan nanti-nanti,” ujarnya.
Ia juga menyinggung Putusan MK No. 6/PUU-XXII/2024 yang mengatur syarat calon Jaksa Agung. Dalam kasus itu, MK menyatakan bahwa seorang calon tidak boleh menjadi pengurus partai politik, dan untuk menjamin independensi, harus sudah lepas dari afiliasi partai minimal lima tahun sebelum diangkat.
“Walaupun konteksnya beda — partai politik dan lembaga keuangan — logika hukumnya sama. Syarat itu harus dipenuhi jauh sebelum ditetapkan atau diangkat, bukan mepet-mepet atau sambil jalan. Apalagi cuma diatur lewat pengumuman pansel,” kata Hardjuno.
Menurutnya, pansel LPS tidak bisa serta merta menyisipkan tafsir yang melonggarkan syarat tanpa dasar hukum. “Kecuali DPR ubah dulu UU-nya, baru bisa. Kalau tidak, pasti akan digugat ke MK — dan besar kemungkinan kalah,” tegasnya.
“Akrobat Regulasi” yang Merugikan Publik
Lebih jauh, Hardjuno melihat ada potensi permainan regulasi dalam proses seleksi ini.
“Pansel sedang melakukan akrobat hukum. Ada upaya mengakali undang-undang untuk menggolkan calon tertentu. Ini bukan lagi soal perbedaan tafsir. Ini sudah masuk wilayah penyimpangan,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa LPS adalah lembaga vital yang memegang mandat publik dalam menjamin simpanan masyarakat dan menjaga stabilitas sistem perbankan. “Kalau dari awal proses seleksinya sudah menabrak hukum, bagaimana publik bisa percaya pada integritas orang-orang yang nanti memimpinnya?”
Untuk itu, ia mendesak agar Presiden dan kementerian terkait segera meninjau ulang proses seleksi ini sebelum terlambat. “Kalau tidak, bangsa ini bisa kembali dirugikan oleh keputusan politik yang sembrono secara hukum,” pungkas Hardjuno.