
Papua memiliki beragam budaya yang unik dan terkenal, mencerminkan kekayaan tradisi yang diwariskan turun-temurun oleh suku-suku asli di wilayah tersebut. Kekayaan budaya tersebut dikenalkan mahasiswa dan pemuda Papua kepada masyarakat Jawa Timur melalui gelaran Papua Menyapa Malang 2025.
"Acara ini hadir bukan semata sebagai perayaan budaya, tetapi sebagai bentuk representasi keberadaan, kontribusi, dan harapan mahasiswa Papua di tanah perantauan, salah satunya Jawa Timur," ujar Saverius Moses Weu Werre, selaku Ketua Panitia Papua Menyapa Malang 2025, dalam keterangan tertulis yang diterima Basra, Senin (28/7).
Saverius melanjutkan, melalui tajuk “Merayakan Keindahan Seni, Budaya, dan Kreativitas Anak Papua”, para pemuda Papua ingin menyampaikan bahwa mereka adalah bagian yang aktif dari dinamika kehidupan kota tempatnya tinggal sebagai pelajar, pelaku seni, wirausahawan muda, pemikir, dan agen perubahan sosial.
"Festival ini menjadi jembatan antara budaya Papua dan masyarakat luas, sekaligus ruang dialog tentang pentingnya saling memahami dan menerima dalam keberagaman," tuturnya.
Rangkaian kegiatan dimulai melalui Papua Pop-Up Market, sebuah bazar budaya yang menghadirkan kuliner khas Papua serta produk-produk kreatif seperti anyaman, noken, perhiasan etnik, hingga barang-barang suvenir bernuansa Papua.
Di balik setiap stand berdiri para mahasiswa Papua yang telah mengolah ide dan warisan budaya menjadi produk ekonomi kreatif. Ada yang membawa resep keluarga dari kampung halaman, ada pula yang memadukan gaya urban dengan cita rasa lokal. Lebih dari sekadar menjual produk, momen ini menjadi cara mereka bercerita tentang kampung, tentang mama dan bapak di rumah, tentang hutan dan laut yang mereka rindukan, dan tentang Papua yang hidup dalam diri mereka—meski kini berada ribuan kilometer jauhnya.
Seremoni pembukaan menjadi momen sakral yang menegaskan posisi mahasiswa Papua sebagai penjaga dan penyampai nilai-nilai luhur budaya. Di tengah suasana hangat tersebut, hadir sesi Talkshow Interaktif bertajuk “Papua Now!”, yang menjadi wadah diskusi terbuka antara mahasiswa Papua dan publik Malang.
"Talkshow ini mengangkat kisah nyata dan refleksi kritis dari para narasumber muda Papua tentang bagaimana mereka bertumbuh di tanah rantau, menghadapi stereotip, membangun komunitas, dan tetap mempertahankan identitas budaya di tengah lingkungan akademik dan sosial yang majemuk," terangnya.
Para peserta talkshow mengupas pentingnya menjaga keberanian berbicara, pentingnya pendidikan yang bukan hanya untuk gelar tetapi juga untuk membangun narasi baru tentang Papua. Mereka juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk membangun perspektif yang lebih inklusif terhadap Papua—bukan sebagai daerah yang jauh dan penuh stigma, tetapi sebagai bagian penting dari Indonesia yang kaya, indah, dan setara.
Ada pula Panggung Budaya “Cenderawasih”. Di atas panggung, para mahasiswa Papua menampilkan ragam pertunjukan budaya yang kaya warna dan makna. Tarian tradisional, kreasi tari kontemporer, menyanyi solo, menyanyi grup, musik etnik Papua, dan penampilan bebas menjadi ekspresi kolektif identitas mereka. Tidak hanya menghibur, setiap gerakan dan lagu yang ditampilkan adalah manifestasi dari ingatan, rindu, serta harapan mereka terhadap tanah kelahiran dan masa depan bersama.
Panggung ini sekaligus menjadi ajang pembuktian bahwa mahasiswa Papua tidak hanya datang untuk belajar secara akademik, tetapi juga untuk memberi. Memberi warna, memberi suara, dan memberi harapan bagi masyarakat sekitar.
Saverius menyampaikan bahwa festival ini adalah bagian dari tanggung jawab moral dan sosial mahasiswa Papua untuk menunjukkan bahwa mereka hadir dan berdaya.
“Kegiatan ini bukan tentang kami ingin tampil, tapi tentang kami ingin diterima. Kami ingin masyarakat mengenal Papua dari kami langsung. Bukan dari pemberitaan, bukan dari asumsi. Kami ingin menciptakan ruang yang ramah untuk belajar bersama, memahami satu sama lain, dan membangun ikatan kemanusiaan yang lebih dalam," tegasnya.
Ia berharap agar 'Papua Menyapa Malang' tidak berhenti sebagai event tahunan semata, melainkan menjadi gerakan budaya yang konsisten, yang mampu membuka jalan baru bagi mahasiswa Papua untuk berkembang dan didengar.