
Menjelang tenggat waktu (deadline) negosiasi tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) pada 9 Juli 2025 nanti, pelaku pasar di dalam negeri mulai bersikap defensif.
Ketidakpastian hasil negosiasi membuat investor menarik diri dari aset berisiko seperti saham, dan beralih ke instrumen lindung nilai seperti emas.
Pengamat pasar modal, Lanjar Nafi, menilai situasi ini sebagai bentuk respons pasar terhadap meningkatnya risiko ketidakpastian perdagangan.
“Sentimen pasar akan cenderung hati-hati dan lebih menghindari risiko. Untuk emas akan lebih diminati karena untuk melindungi aset dari risiko yang meningkat,” ujar Lanjar kepada kumparan, Jumat (4/7).
Menurutnya, sektor saham Indonesia, khususnya emiten yang berorientasi ekspor ke AS, berpotensi tertekan dalam beberapa hari ke depan. Kondisi ini diperparah oleh potensi arus modal keluar dari investor asing.
“Rupiah akan sangat rentan karena berpeluang adanya arus keluar investor asing,” ujarnya.
Bank Indonesia (BI), lanjut Lanjar, kemungkinan akan terus melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, tekanan terhadap rupiah tetap mengintai.
Lanjar juga mencatat adanya investor asing telah melakukan rebalancing portofolio sebagai bentuk antisipasi risiko.
“Net sell asing dalam sebulan belakangan telah mencapai lebih dari Rp 7 triliun,” ujarnya.

Dari sisi skenario, Lanjar menyebut dua kemungkinan besar, yakni kesepakatan berhasil, atau gagal. Jika kesepakatan dicapai, pasar akan menguat. Sebaliknya, kegagalan akan memicu aksi jual besar-besaran dan depresiasi rupiah.
“Dalam hal ini investor disarankan berada di posisi defensif, kurangi posisi pada saham dan diversifikasi ke obligasi, emas, dan USD lebih banyak,” jelasnya.
Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, menilai fluktuasi pasar saat ini sangat sensitif terhadap perkembangan kebijakan perdagangan AS.
Nilai aset riil dan keuangan akan terus bergejolak selama tidak ada kejelasan soal kesepakatan.
“Sebelum ada deal, uncertainty akan membuat pelaku pasar gelisah sehingga kemungkinan besar harga aset riil dan sekuritas akan mengalami sentimen yang cenderung negatif,” ujar Eddy kepada kumparan, Jumat (4/7).
Eddy menyebut tarif 20 persen seperti yang disepakati AS dan Vietnam masih bisa ditoleransi oleh pasar, asalkan daya saing ekspor Indonesia diperkuat. Namun jika tidak, dampaknya bisa menyempitkan surplus perdagangan RI dengan AS.
Eddy juga menjelaskan tarif secara langsung tidak selalu memicu capital outflow, tetapi efek berantainya seperti ekspor turun, pertumbuhan melambat, dan rupiah melemah, bisa juga menciptakan gelombang aliran modal keluar secara tidak langsung.
“Investor memindahkan dana ke tempat lain, dst. Tapi kaitan langsung/otomatis sih tidak ada,” ujarnya.