
Cerebral Palsy (CP) adalah kelompok gangguan neurologis non-progresif yang memengaruhi gerakan, koordinasi, dan postur tubuh. Istilah "cerebral" mengacu pada otak, dan "palsy" berarti kelemahan atau masalah dalam penggunaan otot. CP disebabkan oleh kerusakan atau perkembangan otak yang tidak normal yang terjadi sebelum, selama, atau segera setelah kelahiran, saat otak masih dalam tahap perkembangan.
CP adalah kondisi yang berasal dari otak dan memengaruhi sistem saraf, khususnya bagian yang mengontrol gerakan. Anak-anak dengan CP memiliki kesulitan dalam melakukan gerakan sadar, seperti meraih benda, berjalan, atau bahkan berbicara. Gerakan menjadi kaku, tidak terkontrol, atau lemah.
Jenis-jenis CP berdasarkan gangguan gerakan utama meliputi:
Secara global, diperkirakan sekitar 1 hingga 4 dari setiap 1.000 kelahiran hidup mengalami CP. Beberapa sumber menyebutkan perkiraan sekitar 18 juta orang di seluruh dunia hidup dengan CP di segala usia. Ada perbedaan signifikan antara prevalensi CP di negara berpenghasilan tinggi (High-Income Countries - HICs) dan negara berpenghasilan rendah serta menengah (Low- and Middle-Income Countries - LMICs).
Di HICs, prevalensi CP cenderung lebih rendah, berkisar sekitar 1.5 hingga 2.5 per 1.000 kelahiran hidup. Penyebabnya karena kemajuan dalam perawatan prenatal, persalinan, dan neonatal (seperti perawatan intensif neonatus yang lebih baik untuk bayi prematur dan berat lahir rendah), yang membantu mengurangi faktor risiko penyebab CP. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan prevalensi CP di HICs dalam beberapa dekade terakhir.
Di LMICs, prevalensi CP dilaporkan lebih tinggi, bahkan bisa mencapai 3.4 hingga 5.6 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap prevalensi yang lebih tinggi di LMICs meliputi, akses terbatas ke perawatan prenatal dan persalinan yang berkualitas, kurangnya perawatan neonatal yang canggih, nutrisi ibu yang buruk, tingkat infeksi yang lebih tinggi, dan trauma kelahiran.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2018, prevalensi CP di Indonesia adalah 0,09% dari jumlah anak usia 24-59 bulan. Artinya, dari setiap 1.000 anak usia 2-5 tahun, sekitar 0,9 anak, atau dapat dibulatkan menjadi 1 anak, terdiagnosis CP pada kelompok usia tersebut. Angka ini setara dengan 9 kasus per 1.000 kelahiran. Dibandingkan dengan negara maju, prevalensi di Indonesia tergolong lebih tinggi.

Anak dengan Cerebral Palsy (CP) membutuhkan pelayanan kesehatan yang komprehensif dan berkelanjutan sepanjang hidup mereka. Namun, realitanya, banyak keluarga menghadapi "jalan berliku" akibat beban finansial dan ekonomi yang besar. Hambatan ini seringkali menjadi penghalang utama bagi anak-anak ini untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan untuk mewujudkan potensi maksimal mereka. Perawatan untuk anak dengan CP bukan hanya tentang obat-obatan, tetapi melibatkan serangkaian intervensi medis dan rehabilitasi yang kompleks, berkesinambungan, dan mahal.
Di Indonesia, BPJS Kesehatan adalah program jaminan kesehatan nasional yang sangat membantu. Namun, ada batasan dalam cakupan terapi rehabilitasi. Misalnya, jumlah sesi terapi mungkin dibatasi per minggu atau per bulan, padahal anak dengan CP sering membutuhkan intensitas terapi yang lebih tinggi. Tidak semua jenis atau merek alat bantu dan peralatan adaptif tercakup sepenuhnya oleh JKN. Ada batasan harga atau jenis alat yang bisa diklaim, memaksa keluarga untuk menanggung sisanya. Beberapa obat khusus yang mahal atau yang belum masuk daftar obat standar, tidak sepenuhnya ditanggung oleh JKN.
Selain hambatan finansial, keterbatasan akses geografis dan infrastruktur merupakan tantangan signifikan lain yang dihadapi keluarga anak dengan CP dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang esensial. Lokasi tempat tinggal dan kualitas infrastruktur di sekitarnya memengaruhi seberapa mudah atau sulit mereka mencapai fasilitas perawatan yang dibutuhkan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang luas, memiliki disparitas yang tajam dalam penyediaan layanan kesehatan antara daerah perkotaan besar dan daerah terpencil atau pedesaan. Perawatan CP membutuhkan fasilitas khusus seperti klinik fisioterapi, okupasi, dan wicara yang dilengkapi dengan peralatan memadai serta tenaga profesional terlatih.
Di kota-kota besar, fasilitas ini tersedia, tetapi menjadi langka atau bahkan tidak ada sama sekali di daerah terpencil. Akibatnya, anak-anak di daerah tersebut tidak mendapatkan intervensi dini dan berkelanjutan yang sangat penting untuk perkembangan mereka.
Selain hambatan finansial dan geografis, kurangnya tenaga medis dan spesialis yang kompeten merupakan salah satu permasalahan paling krusial dalam akses pelayanan kesehatan bagi anak dengan CP. Kualitas dan ketersediaan sumber daya manusia di bidang kesehatan sangat menentukan apakah anak-anak ini mendapatkan perawatan yang tepat dan komprehensif. Perawatan anak dengan CP membutuhkan tim multidisiplin yang terdiri dari berbagai spesialis. Sayangnya, jumlah profesional terlatih ini sangat terbatas, terutama di luar kota-kota besar.
Stigma dan diskriminasi adalah hambatan yang seringkali lebih menyakitkan dan merugikan dibandingkan hambatan fisik atau finansial. Bagi anak dengan CP dan keluarganya, stigma ini dapat menghambat akses ke pelayanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Stigma dan diskriminasi tidak muncul begitu saja, biasanya berakar dari kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang CP di kalangan masyarakat luas dan bahkan di kalangan profesional kesehatan. Masih banyak masyarakat yang memiliki pandangan keliru tentang CP.
Beberapa menyamakan CP dengan keterbelakangan mental, padahal banyak anak dengan CP memiliki kecerdasan normal. Kesalahpahaman ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung dan memicu pengucilan. Masyarakat umumnya tidak memahami bahwa CP adalah kondisi neurologis non-progresif yang disebabkan oleh kerusakan otak awal, bukan penyakit menular.
Orang tua dari anak dengan CP seringkali menghadapi stigma sosial, di mana mereka disalahkan atau dihakimi atas kondisi anak mereka. Kondisi ini menambah beban psikologis yang sudah berat bagi orang tua anak dengan CP. Kampanye edukasi publik dan pelatihan berkelanjutan bagi tenaga medis sangat penting untuk menghapus stigma terhadap anak dengan CP.

Di Indonesia, hak atas pelayanan kesehatan, termasuk bagi anak-anak dengan CP, dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Kerangka hukum nasional ini menjadi fondasi bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka. Pondasi utama perlindungan hak atas kesehatan di Indonesia terletak pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa,
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."Pasal ini menjamin bahwa setiap individu, terlepas dari kondisi fisiknya, memiliki hak fundamental untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan dan memastikan akses terhadap pelayanan kesehatan yang layak bagi semua warganya, termasuk anak-anak yang membutuhkan perawatan khusus seperti mereka yang hidup dengan CP.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah tonggak penting dalam perlindungan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa, "Setiap Penyandang Disabilitas mempunyai hak: a. hidup; b. bebas dari diskriminasi; ..."
Anak dengan CP adalah penyandang disabilitas. Pasal ini menegaskan hak mereka untuk hidup dan yang sangat krusial, bebas dari diskriminasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk akses pelayanan kesehatan. Ini menjadi dasar hukum untuk menuntut perlakuan yang sama dan adil di fasilitas kesehatan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memperkuat kewajiban pemerintah dan pihak terkait dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang merata, sistem kesehatan yang adaptif, dan penguatan pelayanan primer. Dengan fokus pada pelayanan kesehatan primer, diharapkan deteksi dini dan penanganan awa...