
Di atas tanah yang dulunya bersengketa dan terbengkalai, kini tumbuh harapan dalam bentuk batang-batang cabai rawit, kelengkeng muda, dan banyak tumbuhan lainnya.
Di kawasan Gunung Hejo, Purwakarta, Jawa Barat, geliat baru kehidupan dimulai berkat kolaborasi antara alumni AKABRI 92, pemerintah daerah, dan berbagai mitra lainnya.
Salah satu saksi hidup dari perubahan itu adalah Jhony Butarbutar, salah seorang petani hortikultura di kawasan tersebut.
“Dari awal sampai saat ini, yang kita rasakan ya semuanya baik sih. Ada kekurangan ya, tapi itu yang perlu kita perbaiki,” ujarnya saat ditemui di lokasi argoforestri, Sabtu (5/7).

Jhony awalnya bukan seorang petani, ia kontraktor, namun semangat dari para penggerak program, terutama keterlibatan langsung KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, membuatnya terpanggil untuk terjun langsung ke ladang.
“Ini yang mengeksekusi, khususnya Pak Maruli Simanjuntak yang asyik setiap saat hadir di sini,” ungkap Jhony.
“Saya melihat itu semua semangat, jadi saya ikut terpacu,” ujar Jhony.

Di lahan itu, para petani menanam berbagai jenis tanaman keras seperti durian, lengkeng, mangga, petai, dan manggis. Sebagai tumpang sari, mereka menanam cabai rawit dan tanaman daun.
Sebelum menjadi petani, Jhony menyebut diberikan pelatihan selama lebih kurang 30 hari oleh Elevarm dan TNI AD.
Jhony pun menjelaskan bahwa tanaman keras mulai ditanam sejak Januari, sementara cabai dan tanaman cepat panen lainnya mulai ditanam pada akhir Februari.
Kini, sebagian hasil cabai sudah bisa dipanen, termasuk yang sempat dipetik langsung oleh KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat meninjau lokasi.

“Kalau untuk tumpang sarinya seperti cabai rawit tadi yang dipetik sama KSAD, sama Pak Gubernur. Nah itu kita mulai Februari akhir sudah berjalan dan sudah panen beberapa kali saat ini. Walau hasilnya belum maksimal. Udah kelihatan itu ya,” ujar Jhony.
Program agroforestri ini bukan hanya soal menanam pohon atau memanen hasil. Lebih dari itu, ini adalah upaya sistematis untuk membuka lapangan kerja di pedesaan, mengurangi ketergantungan impor pangan, dan menciptakan ketahanan pangan dari akar rumput.
“Dengan adanya dibuka lahan ini oleh khususnya TNI Angkatan Darat ya, ketahanan pangan ya. Itu menyerap banyak sekali masyarakat yang tadinya hampir tidak ada kegiatan. Dan sekarang bisa terarahkan semuanya dan merasa semangat,” kata Jhony.
Maruli: Mudah-mudahan Tidak Perlu Impor Lagi

Menurut KSAD Maruli, program ini bisa jadi model pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan.
“Dari hasil panennya sudah jelas nanti masyarakat bisa bekerja, kita juga tidak perlu, nanti, mudah-mudahan, impor-impor lagi,” ujar Maruli.Tak heran jika pada kunjungan lapangan, KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bersama Astamarena Kapolri Komjen Wahyu Hadiningrat tampak aktif berdialog dengan para petani.
Mereka meninjau pertumbuhan tanaman, bahkan turut serta memetik cabai. Di antara deretan tanaman, terlihat geliat optimisme yang perlahan tumbuh.

Di banyak wilayah lain, proyek serupa tengah disiapkan. Dari Purwakarta, Cianjur, Pangalengan, Garut, Pangandaran, hingga Ciemas dan Benda, TNI AD menargetkan pengolahan 950 hektare lahan untuk ditanami berbagai tanaman pangan dan hortikultura.
Dengan perhitungan satu keluarga bisa mengelola hingga setengah hektare, hasil yang didapat diperkirakan sudah melampaui UMR.
“Nah kita karena baru memulai, sekarang ini 5 ribu (meter) saja kerjanya, suami-istri, tapi kalau nanti setahun-dua tahun ketemu celahnya nanti, kita harapkan mereka itu harus bisa mengelola sampai bisa 1 hektarelah,” jelas Maruli.
“Hitungan setengah hektare saja satu keluarga, itu sebetulnya mereka sudah lebih dari UMR sudah dia dapat. Ya bisa dapatlah kemungkinan besar itu,” sambungnya.
Dedi Mulyadi: Ubah Mindset

Bagi Dedi Mulyadi, ini juga soal perubahan pola pikir. Ia menyayangkan jika masyarakat hanya menganggap “bekerja” itu berarti bekerja di pabrik. Padahal, sektor pertanian punya potensi jauh lebih besar.
“Saya punya keponakan jadi honorer gaji Rp 2 juta. Tapi seminggu dua kali jualan bala-bala bisa dapat Rp 1,5 juta. Jadi harus kita ubah mindset itu,” ujar Dedi.Kini, dengan dukungan sistem pelatihan, distribusi bibit, hingga pendampingan dari berbagai pihak, lahan yang dulunya tak dimanfaatkan justru membuka peluang ekonomi nyata bagi ratusan warga.

