
KPK memakai pendekatan berbeda saat menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara. Operasi senyap itu digelar pada Kamis (26/6) malam, terkait dengan dua perkara berbeda.
Pertama, proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Kedua, terkait proyek di Satuan Kerja Pembangunan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah 1 Sumut. Nilai total kedua proyek tersebut yakni sebesar Rp 231,8 miliar.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mulanya menjelaskan bahwa OTT itu bermula dari pengaduan masyarakat terkait adanya pengerjaan proyek infrastruktur jalan yang kurang bagus di Sumatera Utara.
Timnya terjun ke lapangan, dan mendapati jalan itu memang kurang bagus. Dari temuan lapangan, KPK mendapat informasi bahwa ada penarikan uang sebesar Rp 2 miliar oleh Dirut PT DNG M. Akhirun Efendi Siregar, dan Direktur PT RN, M. Rayhan Dulasmi Pilang, selaku pihak swasta.
Diduga, uang itu yang digunakan sebagai uang suap agar perusahaan tersebut ditunjuk sebagai pemenang proyek. Setelah penarikan itu, KPK mendapat 2 pilihan.
Opsi pertama, menunggu proses lelang berjalan atau mencegah agar pihak swasta tidak sampai memenangkan proyek.
"Pertama, adalah kami menunggu sampai dengan proses lelang ini berjalan, kemudian pembangunan jalan ini berjalan, dilakukan oleh pihak-pihak di-setting menang. Kita akan menunggu sejumlah uang pada umumnya 10-20 persen, berarti kalau dari Rp 231,8 miliar itu, ada sekitar Rp 46 miliar yang akan digunakan untuk menyuap," papar Asep, di Gedung Merah Putih, KPK, Sabtu (28/6).
"Apakah kami harus menunggu sampai uang itu cair, kemudian diserahkan kepada para pihak, kalau kami tangkap dan bawa sejumlah uang tersebut ke sini," terangnya.

Sementara itu, opsi kedua, yakni mencegah sesegera mungkin agar pihak swasta tersebut tidak memenangkan dan mengerjakan proyek.
"Pilihan kedua kita ingin mencegah supaya pihak-pihak ini tidak mendapatkan proyek tersebut. Kenapa? kalau dibiarkan pihak-pihak ini mendapatkan proyek, ini tentu hasil pekerjaannya tidak akan maksimal," kata Asep.
"Karena sebagian dari uang itu akan digunakan untuk menyuap, memperoleh pekerjaan tersebut, tidak digunakan untuk pembangunan jalan," imbuhnya.
Asep mengungkapkan bahwa pihaknya kemudian mengambil keputusan untuk mengerjakan opsi kedua. Dalam konferensi pers, ia pun menjelaskan alasan pengambilan keputusan itu yakni dengan pertimbangan aspek manfaat bagi masyarakat.
"Tentunya pilihan kedua ini yang diambil. Walaupun ini uang yang terdeliver kepada para pihak tidak sebesar kalau KPK mengambil opsi yang pertama, tapi tentu kebermanfaatan dari masyarakat akan lebih besar kalau mengambil opsi kedua," tutur dia.
"Kenapa? Pihak-pihak atau perusahaan yang akan mendapat pekerjaan dengan cara menyuap akan kita gagalkan. Terbukti, hari ini kita bisa menangkap mereka walau dengan barang bukti lebih sedikit, tapi perusahaannya tersebut tidak akan menjadi pemenang atau yang melakukan pekerjaan pembangunan jalan tersebut," jelasnya.
Dengan pilihan tersebut, Asep pun berharap pembangunan jalan di Sumatera Utara tersebut bisa dikerjakan oleh perusahaan yang kredibel dan layak.
"Sehingga, kita berharap nilai kontrak Rp 231,8 miliar untuk pembangunan jalan di beberapa ruas jalan di Sumatera bisa dimenangkan perusahaan yang kredibel," ucap dia.

"Sehingga, hasilnya nanti jalan yang dihasilkan bisa lebih baik, kualitasnya lebih baik, ini akan jadi hal positif untuk masyarakat," pungkasnya.
Adapun dalam kasus ini, KPK telah menjerat lima orang sebagai tersangka, yang terdiri dari tiga orang sebagai tersangka penerima suap dan dua orang tersangka pemberi suap.
Untuk tersangka penerima suap yakni:
Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut, Topan Obaja Putra Ginting;
Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut, Rasuli Efendi Siregar; dan
PPK Satker PJN Wilayah 1 Provinsi Sumatera Utara, Heliyanto.
Sementara, untuk tersangka pemberi suap yakni:
Direktur Utama PT DNG, M. Akhirun Efendi Siregar; dan
Direktur PT RN, M. Rayhan Dulasmi Pilang.
Diduga kasus korupsi ini terjadi dengan Akhirun dan Rayhan selaku pihak swasta berharap mendapatkan proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR dan Satker PJN Wilayah 1 Sumut dengan memberikan sejumlah uang sebagai uang suap kepada Topan, Rasuli, dan Heliyanto.
Topan, Rasuli, dan Heliyanto kemudian diduga melakukan proses pengaturan lewat e-katalog agar perusahaan yang dipimpin oleh Akhirun dan Rayhan ditunjuk sebagai pemenang lelang proyek.
Sehingga, proses lelang itu diduga terjadi tanpa melalui mekanisme dan ketentuan dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Atas perbuatannya, Topan, Rasuli, dan Heliyanto dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Akhirun dan Rayhan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya, KPK melakukan penahanan terhadap para tersangka untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 28 Juni sampai dengan 17 Juli 2025. Penahanan itu dilakukan di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih.