Jakarta (ANTARA) - Tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 tercatat sebagai hari paling kelam dalam sejarah Jepang dan dunia internasional. Dua kota besar di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantak akibat bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) pada penghujung Perang Dunia II. Tindakan ini menandai penggunaan pertama senjata nuklir dalam sejarah umat manusia dan menjadi penentu berakhirnya perang di kawasan Pasifik.
Serangan bom atom tersebut merupakan balasan dari pihak Amerika Serikat terhadap serangan Jepang atas Pangkalan Laut AS di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941. Dalam serangan mendadak tersebut, pesawat tempur Jepang menghancurkan sebagian besar armada Pasifik milik AS. Sebagai tanggapan, AS melancarkan serangkaian kampanye militer, termasuk pengeboman besar-besaran, hingga akhirnya memutuskan menjatuhkan bom atom demi mempercepat akhir perang.
Salah satu alasan utama Amerika Serikat menjatuhkan bom atom adalah keengganan Jepang untuk menyerah tanpa syarat. Jepang bersikeras mempertahankan Kaisar sebagai kepala negara dan ingin mengatur proses peradilan perang secara mandiri, tanpa campur tangan penuh dari Sekutu. Sebaliknya, pihak AS menuntut penyerahan total yang berarti pembubaran kekuasaan militer Jepang dan pendudukan langsung oleh pasukan AS.
AS sebelumnya telah melakukan berbagai pengeboman konvensional di sejumlah kota Jepang. Salah satu yang paling mematikan adalah pengeboman Tokyo pada 9–10 Maret 1945 yang menewaskan sekitar 100.000 jiwa dalam satu malam. Namun, Jepang tetap menolak menyerah.
Dengan mempertimbangkan kemungkinan invasi darat ke Jepang yang diyakini akan menelan korban jiwa yang sangat besar di pihak Amerika, maka diputuskan bahwa penggunaan bom atom adalah jalan tercepat dan paling efektif untuk mengakhiri perang.
Baca juga: Jepang luncurkan gerakan dokumentasikan pengalaman penyintas bom atom
Faktor Uni Soviet
Selain mempercepat akhir perang, faktor geopolitik juga mempengaruhi keputusan AS. Pada 8 Agustus 1945, dua hari setelah bom dijatuhkan di Hiroshima, Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang, sesuai kesepakatan Konferensi Teheran dan Yalta. Presiden AS saat itu, Harry S. Truman, diduga juga memiliki tujuan politis dalam menjatuhkan bom kedua di Nagasaki, yakni untuk menunjukkan kekuatan militer AS sekaligus membatasi pengaruh Soviet di wilayah Asia Timur.
Dampak kehancuran dan jumlah korban
Bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 oleh pesawat pembom B-29 Enola Gay, dipiloti Kolonel Paul Tibbets. Bom yang dijuluki Little Boy ini menggunakan uranium dan meledak dengan kekuatan setara 12 kiloton TNT. Sekitar 70.000 orang tewas seketika, dan jumlah korban meninggal bertambah menjadi lebih dari 100.000 jiwa akibat luka bakar dan radiasi.
Tiga hari kemudian, pada 9 Agustus 1945, bom kedua yang diberi nama Fat Man dijatuhkan di Nagasaki oleh pesawat B-29 Bockscar yang dipiloti Mayor Charles Sweeney. Bom ini berbasis plutonium dan menewaskan sekitar 40.000 orang secara langsung, dengan total korban meninggal mencapai lebih dari 70.000 jiwa hingga akhir tahun 1945.
Baca juga: Maskapai gagal beri panduan evakuasi saat ancaman bom di Jepang
Sehari setelah bom kedua, yaitu pada 10 Agustus 1945, pemerintah Jepang menyatakan kesediaannya untuk menerima syarat-syarat penyerahan yang tertuang dalam Deklarasi Potsdam. Penyerahan resmi Jepang terjadi pada 2 September 1945, menandai berakhirnya Perang Dunia II.
Pasca-perang, Jepang berada di bawah pendudukan AS yang dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur sebagai Supreme Commander for the Allied Powers. Pendudukan ini membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan, ekonomi, dan militer Jepang, serta memperkuat pengaruh AS di kawasan Asia Timur.
Secara global, penggunaan bom atom memicu perlombaan senjata nuklir dan menjadi awal dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hingga kini, bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tetap menjadi satu-satunya senjata nuklir yang pernah digunakan dalam perang.
Penjatuhan bom atom oleh Amerika Serikat atas Jepang merupakan tindakan militer dan politik yang dilatarbelakangi oleh keinginan mengakhiri perang secepat mungkin, menghindari korban lebih besar dari invasi darat, serta mempertahankan dominasi geopolitik di tengah munculnya pengaruh Uni Soviet. Namun, konsekuensi kemanusiaannya sangat besar, dan tragedi ini terus dikenang sebagai pelajaran pahit dari penggunaan senjata pemusnah massal.
Baca juga: PM Jepang: Lebih banyak bom dijatuhkan di Gaza daripada Tokyo di PD II
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.