
Kepala sekolah dari Papua, Samuel Franklin Yawan (45), dan Takalar, Sulawesi Selatan, Susanti, menyatakan komitmennya untuk mengabdi di Sekolah Rakyat. Keduanya menjadi peserta Retreat Kepala Sekolah Rakyat tahap II di Pusdiklatbangprof Kemensos, Jakarta Selatan, Sabtu (5/7).
Samuel, sebelumnya menjabat kepala SMA Negeri di Samber, Kabupaten Biak Numfor, selama sembilan tahun. Ia kini bergabung sebagai kepala Sekolah Rakyat di wilayahnya.
Menurutnya, program ini menjawab doa keluarga-keluarga miskin yang selama ini tak terjangkau pendidikan layak di kampung halamannya.
“Saya ini kepala sekolah, tapi setelah saya melihat program ini, saya tinggalkan kepala sekolah, Pak. Karena saya punya hati. Saya pikir ini jawaban doa dari keluarga-keluarga tidak mampu. Tuhan menjawab melalui Bapak Presiden kita,” ujar Samuel di hadapan Mensos Saifullah Yusuf atau Gus Ipul.
Ia menambahkan, keputusan untuk terjun ke Sekolah Rakyat bukan pilihan mudah.

“Kalau saya mau nyaman, ngapain saya masuk Sekolah Rakyat. Tapi saya ingin menjadi perpanjangan Tuhan, jawaban doa dari setiap keluarga yang ada sehingga menjadi berkat bagi keluarga yang tidak mampu,” lanjutnya.
Senada dengan Samuel, Susanti, mengaku terharu bisa menjadi bagian dari program ini. Selama bertahun-tahun, ia berpindah tugas ke wilayah-wilayah pinggiran dan melihat langsung dampak kesenjangan pendidikan terhadap lingkaran kemiskinan.
“Terharu, aku akan itungan dari dalam. Tuh, ternyata yang dulunya ini hanya mimpi. Karena selama ini saya selalu berhadapan dengan siswa yang miskin. Ternyata ada titik terang untuk bisa dia keluar dari ini. Dan saya ada dalam bagian ini,” ujarnya menjelaskan kenapa ia menangis saat mendengar pidato penutupan acara yang dibawakan oleh Gus Ipul.

Ia bercerita pernah terlibat dalam program Keaksaraan Fungsional, mengajar orang dewasa yang tak bisa membaca. Dari situ ia melihat bagaimana pendidikan orang tua berpengaruh langsung terhadap akses anak-anak mereka ke pendidikan.
“Dengan adanya pendidikan yang berkualitas, saya sangat yakin dan percaya kemiskinan pasti akan terputus,” kata Susanti.
Sejak menjadi guru pada 2009, Susanti telah tujuh kali dimutasi--dari daerah perbatasan hingga kembali ke desa miskin di Desa Kolombang, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Menurutnya, Sekolah Rakyat bisa menjembatani kesenjangan tersebut.
“Saya yakin, karena kolaborasi dari berbagai pihak. Biasanya hanya satu pihak yang bekerja. Sekarang saya lihat jelas ada dari Kemendikbud, Kemensos, PU, dan lainnya bersama. Ini pasti akan berjaya,” tutupnya.
Retreat ini diikuti oleh 47 kepala sekolah dari berbagai daerah. Mereka akan memimpin 100 titik Sekolah Rakyat tahap pertama yang mulai beroperasi pada 14 Juli 2025, dengan target menjangkau 10.000 siswa dari keluarga prasejahtera.