
SELAMA puluhan tahun, para astronom beranggapan bahwa bintang-bintang pertama di alam semesta seluruhnya berukuran sangat besar—ratusan hingga ribuan kali massa Matahari. Mereka terbentuk dari hidrogen dan helium murni, bersinar jutaan kali lebih terang daripada Matahari, tetapi hanya hidup singkat sebelum meledak dalam supernova. Oleh karena itu, bintang-bintang purba diyakini sudah lama punah dan mustahil diamati saat ini.
Namun, dua penelitian terbaru yang terbit pada paruh pertama 2025 menantang pandangan tersebut. Studi pertama berupa simulasi komputer yang memodelkan turbulensi dalam awan gas primordial, menunjukkan bahwa gumpalan gas dapat terfragmentasi menjadi bagian-bagian kecil sehingga memunculkan bintang bermassa rendah. Studi kedua, berupa eksperimen laboratorium, menemukan bahwa molekul hidrid helium (HeH?) dan hidrogen molekuler (H?) mungkin lebih melimpah pada masa awal alam semesta. Kedua molekul ini berperan penting mendinginkan awan gas, memungkinkan terbentuknya bintang berukuran lebih kecil.
Temuan ini mengindikasikan bahwa kimia pada 50 hingga 100 juta tahun pertama setelah Dentuman Besar (Big Bang) jauh lebih aktif dari perkiraan. Jika benar, maka generasi kedua bintang—yang saat ini masih dapat diamati dan kemungkinan menjadi induk planet pertama—mungkin muncul lebih awal dari yang diduga.
Bintang terbentuk ketika awan gas raksasa runtuh karena gravitasi, hingga inti cukup panas untuk memicu fusi nuklir. Bintang bermassa besar memang lebih terang, tetapi cepat menghabiskan bahan bakar dan hanya bertahan beberapa juta tahun. Sebaliknya, bintang bermassa rendah dapat hidup miliaran hingga triliunan tahun. Artinya, jika sebagian bintang awal berukuran kecil, mereka masih bisa bertahan hingga sekarang.
Mekanisme pendinginan awan gas menjadi kunci. Selama ini, para astronom berasumsi rendahnya jumlah H? membuat awan tetap panas dan hanya mampu runtuh bila massanya sangat besar. Namun, riset terbaru menunjukkan peran HeH? sebagai katalis pembentukan H? sekaligus pendingin, yang memungkinkan awan kecil mendingin lebih cepat dan membentuk bintang mungil.
Selain faktor kimia, studi lain yang dipimpin astrofisikawan Ke-Jung Chen dari Academia Sinica Institute of Astronomy and Astrophysics menyoroti peran turbulensi. Gerakan gas yang tidak beraturan di dalam awan raksasa diyakini dapat memecah awan menjadi fragmen lebih kecil, sehingga melahirkan bintang bermassa setara hingga 40 kali Matahari.
Meski bukti observasi masih terbatas, sejumlah penelitian terbaru melaporkan kemungkinan adanya bintang purba bermassa rendah. Walau redup dan sulit dideteksi, para astronom optimistis bahwa jejaknya suatu saat akan ditemukan. Jika terkonfirmasi, temuan ini akan mengubah pemahaman mengenai evolusi awal alam semesta sekaligus asal mula planet pertama. (Space/Z-2)