Ladies, bias gender masih menjadi salah satu penghambat bagi kita untuk bisa memiliki kehidupan yang setara. Ini dapat dilihat dari berbagai data yang menunjukkan bahwa keterlibatan atau keterwakilan perempuan dalam beragam sektor, utamanya angkatan kerja, masih lebih rendah dari laki-laki.
Data BPS (2024) menunjukkan partisipasi perempuan di angkatan kerja Indonesia pada 2023 hanya 55 persen, masih jauh di bawah laki-laki yang mencapai 85 persen. Sementara itu, menurut SDG Global Database, hanya 32 persen perempuan yang menempati posisi manajerial pada 2022.
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa masih ada bias gender dalam berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Bias gender sendiri adalah kecenderungan untuk lebih mengutamakan atau memiliki prasangka terhadap salah satu gender, yang mengakibatkan ketidakadilan gender dan diskriminasi.
Sehingga ketika keterwakilan perempuan jauh lebih sedikit, baik di pemerintahan, organisasi publik, atau perusahaan swasta, maka bisa dipastikan bias gender masih jadi salah satu penghambat terwujudnya kesetaraan.
Hal ini dipertegas oleh Dwi Yuliawati, Head of Programmes UN Women Indonesia, yang juga menyebutkan bahwa di Indonesia masih ada bias.
“Jadi 99.7 persen populasi di Indonesia ini masih punya bias, paling tidak di satu dimensi. Dan jika kita berbicara Asia Pasifik, bias itu terdapat pada dimensi politik dan ekonomi,” ungkap Dwi dalam acara Media Talk OCBC ‘Perjalanan Menuju Merdeka dari Bias Gender’ beberapa waktu lalu.
Isu ini juga disoroti oleh Betti Alisjahbana, Komisaris Independen OCBC. Menurutnya, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki potensi untuk berprestasi.
“Kepemimpinan perempuan tidak perlu menjadi pengecualian, melainkan bagian dari budaya profesional yang kita bangun bersama... Di OCBC, kami percaya bahwa ruang kerja yang adil gender akan membuka peluang yang sama untuk semua,” ujarnya.
Betti menekankan bahwa menciptakan ekosistem kerja inklusif menjadi kunci untuk mengoptimalkan talenta tanpa terkekang oleh stigma. Ia juga menegaskan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan prinsip kesetaraan ini berjalan.
Selain itu, Dwi menyebutkan bahwa bentuk paling nyata dari bias gender bisa dilihat dalam kehidupan rumah tangga. Sebab hingga saat ini masih banyak persepsi bahwa pekerjaan rumah tangga dan perawatan anggota keluarga adalah sepenuhnya jadi tanggung jawab perempuan.
“Norma gender yang tidak setara, termasuk di antaranya bias yang terjadi secara sadar maupun tidak, adalah salah satu hambatan perempuan untuk meniti karir di lingkungan kerja… UN Women berkolaborasi dengan sektor swasta untuk mengintegrasikan Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Perempuan (WEPs), sehingga mendorong kebijakan tempat kerja ramah keluarga, sebagai satu cara untuk meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan,” jelas Dwi Yuliawati.
Sejalan dengan itu, Wawan Suwandi, Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru, mengingatkan bahwa perubahan menuju kesetaraan tidak bisa dilakukan sendiri oleh perempuan.
“Dunia kerja yang lebih fleksibel dan rumah tangga yang lebih adil perannya akan membuat laki-laki dan perempuan bisa berkolaborasi lebih sehat. Laki-laki juga perlu ruang untuk menjadi ayah, suami, dan individu yang utuh tanpa stigma. Untuk itu, perlu adanya paham untuk menormalisasikan kolaborasi dengan mematahkan stigma seperti hanya ada “ibu rumah tangga” tapi harusnya adalah “rumah tangga bersama,” jelas pria yang akrab disapa Jundi itu.
Jadi, kita harus menyadari bahwa perjalanan menuju kesetaraan adalah proses kolektif yang memerlukan keterlibatan semua pihak. Mulai dari keluarga, institusi, hingga komunitas. Dengan begitu, ketika hambatan-hambatan ini dihapus, perempuan dapat lebih leluasa berkontribusi penu...