Liputan6.com, Jakarta - Biasanya, bulan April hingga September di Indonesia identik dengan musim kemarau. Namun, tahun 2025 justru menunjukkan anomali cuaca.
Meski seharusnya sudah memasuki periode kemarau, curah hujan tetap tinggi di banyak wilayah. Fenomena ini disebut sebagai kemarau basah.
Menurut Peneliti Klimatologi di BRIN, Dr. Erma Yulihastin, kemarau basah bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya, pola cuaca serupa juga tercatat terjadi pada 2013 dan 2023.
"Kemarau basah terjadi karena suhu permukaan laut di sekitar wilayah Indonesia lebih hangat dari biasanya. Ini memicu penguapan yang tinggi dan menyebabkan hujan, meski secara kalender kita berada di musim kemarau," kata Erma.
BMKG juga menguatkan pernyataan tersebut. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebut, kelembapan udara yang tetap tinggi menjadi salah satu indikator utama kemarau basah.
"Saat musim kemarau seharusnya udara kering, tetapi sekarang justru sangat lembap. Ini menunjukkan atmosfer masih menyimpan banyak uap air," kata Dwikorita dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 4 Agustus 2025.
5 Penyakit Saat Udara Lembap
Contoh nyata terjadi pada akhir Juni 2025, ketika Jakarta diselimuti kabut tebal dan suhu dingin di pagi hari. Kelembapan udara tercatat mencapai 95 persen, kondisi yang tak biasa di musim kemarau.
Udara lembap seperti ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tapi juga memicu berkembangnya berbagai mikroorganisme. Akibatnya, beberapa penyakit menjadi lebih sering muncul. Berikut lima penyakit yang meningkat drastis saat musim kemarau basah:
1. Leptospirosis
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira yang menyebar melalui urin tikus atau hewan lain. Genangan air hujan menjadi medium penyebarannya.
Gejala awal mirip flu, namun bisa berujung pada gangguan hati, ginjal, bahkan kematian bila tak ditangani. Menurut data Kementerian Kesehatan RI per Juni 2025, terdapat 384 kasus leptospirosis yang tersebar di 16 provinsi.
2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Tingginya kelembapan membuat nyamuk Aedes aegypti lebih aktif. Genangan air di pot bunga, talang, dan ember jadi tempat sempurna bagi nyamuk berkembang biak.
"Per 2025, kasus DBD di Indonesia tercatat lebih dari 59.000, dengan angka kematian mencapai 422 orang. Ini naik sekitar 15% dibanding tahun lalu," kata Kepala Biro Komunikasi Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi.
3. ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih mendominasi sebagai penyakit dengan kasus terbanyak tahun ini. Udara lembap memicu penumpukan partikel mikro di dalam rumah, memperparah kondisi pernapasan.
Kemenkes mencatat lebih dari 2,3 juta kasus ISPA hingga pertengahan 2025.
4. Diare dan Gangguan Pencernaan
Cuaca hujan mempermudah kontaminasi air dan makanan. Bakteri penyebab diare mudah menyebar di lingkungan yang lembap dan basah.
"Sebagian besar kasus menyerang anak-anak usia dini. Total ada 1,2 juta kasus diare tercatat sepanjang 2025," kata Dirjen P2P Kemenkes, dr. Maxi Rein Rondonuwu.
5. Penyakit Kulit
Kelembapan tinggi menjadi kondisi ideal bagi jamur dan bakteri penyebab infeksi kulit. Gatal, ruam, dan infeksi jamur meningkat drastis, apalagi jika pakaian tidak kering sempurna sebelum digunakan.
Menurut laporan Dinkes DKI Jakarta, lebih dari 800.000 kasus penyakit kulit tercatat secara nasional hanya dalam paruh pertama tahun 2025.
Jika udara luar tak bisa dikendalikan, menjaga kelembapan di dalam rumah jadi langkah penting. Penggunaan dehumidifier direkomendasikan untuk mencegah pertumbuhan jamur, virus, dan bakteri.
"Dehumidifier membantu menjaga kelembapan udara dalam ruangan tetap stabil, terutama di musim kemarau basah seperti sekarang," kata teknisi HVAC dan pengamat kualitas udara dalam ruangan, Andri Pranata.
Salah satu produk yang banyak digunakan adalah Notale 2in1 Dehumidifier Velmo, yang mampu menyerap 600 ml air per hari dengan daya hanya 54 watt. Produk ini juga dilengkapi unit portable untuk lemari, koper, dan rak.