MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil Undang-Undang TNI (UU TNI) Nomor 3 Tahun 2025 yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipill. Perkara tersebut teregistrasi dengan nomor 81/PUU-XXIII/2025.
Ketua MK Suhartoyo mengatakan, dalam provisi, menolak permohonan provisi Pemohon I sampai dengan Pemohon IV. Dalam pokok permohonan, Suhartoyo mengatakan, permohonan Pemohon V dan dan Pemohon VI tidak dapat diterima.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Menolak permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo saat membacakan amar putusan sidang yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu, 17 September 2025.
Dalam salah satu pertimbangan hukum MK yang dibacakan hakim konstitusi Guntur Hamzah, Mahkamah menolak dalil pemohon yang mengatakan kesulitan mengakses rapat dan dokumen terkait revisi UU TNI.
Guntur mengatakan pembentuk undang-undang telah melakukan upaya untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Rancangan Undang-Undang Perubahan atas UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
MK juga menilai pembentuk undang-undang telah menyediakan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi publik, serta tidak ada upaya untuk menghalangi masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam proses pembentukan
"Baik melalui tatap muka dalam berbagai diskusi publik maupun melalui metode berbagi informasi secara elektronik melalui laman (website) resmi maupun kanal YouTube yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan," kata Guntur.
Dari sembilan hakim konstitusi, ada empat hakim yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap putusan MK. Mereka adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.
"Empat hakim tersebut berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Suhartoyo.
Ada lima putusan perkara uji formil UU TNI yang dibacakan MK hari ini. Selain perkara nomor 81, empat perkara lain adalah nomor 45, 56, 69, dan 75/PUU-XXIII/2025. Putusan MK menyatakan empat perkara itu tidak dapat diterima.
Adapun lima perkara ini sama-sama mempermasalahkan proses pembentukan UU TNI yang dinilai tidak sesuai peraturan pembentukan perundang-undangan. Penggugat menilai, pembentukan UU TNI ini menutup ruang partisipasi publik, termasuk akses draf yang semestinya bisa dibuka secara luas.