Jenderal Besar Sudirman, si jago gerilya, itu tak pernah menurunkan tangannya dan terus menunjukkan sikap hormat kepada setiap mereka yang datang dari arah Bundaran HI, Jakarta Pusat menuju ke selatan.
Ia jadi simbol jalan yang melintas di kanan kirinya--Jalan Jenderal Sudirman, sebuah jalan utama di Ibu Kota.
Patung itu tegap menjulang, setinggi 12 meter—terdiri dari 6,5 meter patung inti dan 5,5 meter patung penyangga. Sang jenderal pakai blangkon, sebuah mantel panjang, ada keris di sela mantelnya. Wajahnya sedikit terangkat dengan sorot mata yang tegas. Tangan kirinya memegang sebuah tongkat yang setia menemaninya saat gerilya, dan tangan kananya memberi hormat sempurna.
Wujudnya begitu mirip dengan hari-hari saat ia aktif memimpin gerilya pada masa revolusi fisik tahun 1948, usai ibu kota Yogyakarta diserang Belanda.
Perang itu membuat dirinya harum sebagai satu dari 3 tokoh militer di Indonesia yang pantas menyandang Jenderal Besar--sebuah gelar tertinggi militer Indonesia dengan 5 bintang.
Gelar, pangkat, dan sikap hormat Sudirman dirasa sejumlah kalangan tak pantas untuk diabadikan dalam sebuah patung. Sebab, banyak pihak merasa tak semua orang pantas mendapatkan sikap hormat dari sang jenderal.
Namun, hormat itu bentuk pengabdiannya yang abadi kepada rakyat. Itu adalah penghormatan Sudirman kepada rakyat Indonesia, yang selalu diutamakan dan dibela dalam perjuangannya.
Sejak 2003, sikap hormat yang gagah dari sang jenderal itu pun kerap menjadi hal yang ikonik bagi para pekerja dan pengendara yang melintas di pusat ibu kota.
Tegapnya patung itu juga menunjukkan semangat pantang menyerah dari Sudirman. Jenderal yang mengembuskan napas terakhir pada 1950 itu, berjuang dalam sakitnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ia rela turun berperang di tengah terjangan penyakit TBC yang dideritanya. Jauh sebelum itu, Sudirman muda juga sempat mengabdikan dirinya sebagai guru dan kepala sekolah sekitar tahun 1936.
Ia pun dikenal aktif dalam organisasi. Pada sekitar tahun 1937, ia terpilih menjadi pemimpin kelompok pemuda Muhammadiyah.
Keputusan berani dari sang jenderal datang pada 1944 ketika ia memutuskan untuk bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Sudirman kemudian menerima mandat untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas.
Kariernya kemudian terus moncer saat ia terpilih menjadi panglima besar dalam pemilihan yang dilakukan pada 12 November 1945.
Sosok Sudirman pun menjadi saksi peristiwa-peristiwa besar saat itu, mulai dari perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville, hingga menghadapi pemberontakan termasuk upaya kudeta 1948.
Atas perjuangannya, nama besar Sudirman hingga kini masih dikenang. Bahkan untuk mengingat jasanya, patung Jenderal Sudirman didirikan di beberapa tempat di Indonesia.
Di Yogyakarta, misalnya, ada patung Jenderal Sudirman di depan gedung DPRD DIY. Lalu, di Surabaya, patung Jenderal Sudirman berdiri kokoh di Jalan Yos Sudarso, persis berhadapan dengan Monumen Bambu Runcing yang populer. Selain itu, patung sang jenderal juga ada di Pacitan, Purwokerto, hingga Alor.
Di ibu kota, patung sang jenderal dibangun sekitar tahun 2001 oleh seorang seniman asal Bandung, bernama Edi Sunaryo. Patung itu sempat akan diresmikan pada tanggal 22 Juni 2003, bertepatan dengan HUT ke-47...