KOALISI Masyarakat Sipil akan mengajukan uji materiil Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI Nomor 3 Tahun 2025. Rencana itu disampaikan perwakilan koalisi setelah uji formil yang mereka ajukan ditolak sepenuhnya oleh Mahkamah Konstitusi.
“Karena banyak sekali kandungan-kandungan yang ada di dalam Undang-Undang ini sangat bermasalah,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Rabu, 17 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Usman memberikan contoh beberapa muatan yang bermasalah dalam UU TNI adalah Pasal 3 soal kedudukan tentara di pemerintahan, dan Pasal 7 yang mengatur operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.
Koalisi sipil juga menyoroti Pasal 8 soal tugas TNI Angkatan Darat, serta Pasal 47 yang mengatur ketentuan prajurit TNI dapat duduk di lembaga sipil. “Itu adalah di antara beberapa pasal yang menurut kami pantas untuk diuji materilkan di dalam langkah hukum konstitusional yang selanjutnya,” kata Usman.
MK menolak uji formil UU TNI yang diajukan koalisi sipil dengan nomor perkara 81/PUU-XXIII/2025. Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menjadi pemohon uji formil tersebut, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Mahkamah menolak dalil pemohon yang mengatakan kesulitan mengakses rapat dan dokumen terkait revisi UU TNI. Hakim MK Guntur Hamzah mengatakan pembentuk undang-undang telah berupaya membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Rancangan Undang-Undang TNI.
MK juga menilai pembentuk undang-undang telah menyediakan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi publik, serta tidak ada upaya untuk menghalangi masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam proses pembentukan.
"Baik melalui tatap muka dalam berbagai diskusi publik maupun melalui metode berbagi informasi secara elektronik melalui laman (website) resmi maupun kanal YouTube yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan," kata Guntur.
Dari sembilan hakim konstitusi, ada empat hakim yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap putusan MK. Mereka adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.
"Empat hakim tersebut berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Suhartoyo.