KOMISI Pemilihan Umum (KPU) membatasi dokumen pasangan calon presiden dan wakil presiden yang boleh dipublikasikan. Pembatasan itu tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang Pembatasan Dokumen Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang diterbtikan pada 21 Agustus 2025.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin beralasan, pembatasan itu dibuat untuk menyesuaikan ketentuan dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). "Kami hanya menyesuaikan dengan pengaturan dalam UU Keterbukaan Informasi Publik," kata Afifuddin di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, pada Senin, 15 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Dalam Keputusan KPU tersebut, terdapat 16 jenis dokumen persyaratan capres-cawapres yang dirahasiakan untuk publik. Antara lain, ijazah, surat keterangan kesehatan, bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi, dan rekam jejak bakal calon.
Afifuddin berujar, regulasi itu secara umum mengatur mengenai keterbukaan data seseorang hanya bisa diakses jika ada persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Data yang dikecualikan itu juga hanya bisa dibuka setelah ada putusan pengadilan.
Ia membantah keputusan membatasi dokumen persyaratan capres dan cawapres ini untuk melindungi mantan presiden Joko Widodo dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Saat ini, ijazah Jokowi dan Gibran tengah disoal beberapa kalangan, hingga digugat ke pengadilan.
"Tidak ada yang dilindungi karena ini ada uji konsekuensi yang harus kami lakukan," ujar Afifuddin.
Warganet mengkritik keputusan KPU tersebut. Sebagian dari mereka menduga pembatasan dokumen itu berhubungan dengan kasus ijazah Jokowi dan Gibran. Ijazah sarjana Jokowi yang dipakainya saat mendaftar calon presiden pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 tengah dipersoalkan. Beberapa pihak menduga ijazah mantan Gubernur Jakarta itu adalah palsu. Selanjutnya, ijazah sekolah menengah atas milik Gibran yang dipakai menadftar cawapres tengah digugat ke pengadilan.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, mengatakan Keputusan KPU terindikasi kuat untuk melindungi Jokowi dan Gibran. Ia menilai keputusan KPU menutup akses publik terhadap dokumen persyaratan capres dan cawapres penuh kejanggalan.
"Seakan ada hal-hal yang mau ditutupi," kata Yance, pada Senin, 15 September 2025.
Yance tak sependapat dengan argumentasi KPU. Menurut Yance, Undang-Undang KIP tidak tepat digunakan untuk membatasi data-data para capres dan cawapres.
"Apalagi hal tersebut membuat KPU melakukan tindakan yang bertentangan dengan asas penyelenggara pemilu," kata dia.
Ia mengatakan setidaknya ada dua asas penyelenggara pemilu yang ditabrak dengan terbitnya Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tersebut, yaitu asas terbuka dan akuntabel.
Menurut Yance, publik berhak untuk mengakses data calon pemimpin bangsa. Tujuannya, untuk memastikan bahwa pemenuhan asas jujur dan adil tercapai dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Selain itu, kata dia, masyarakat sebagai pemilih juga berhak mengetahui dokumen berupa ijazah hingga rekam jejak bakal calon presiden dan wakil presiden. Tujuannya, kata dia, untuk menguji apakah kandidat menyampaikan dokumen yang benar sebagai syarat pencalonannya.
"Verifikasi terhadap syarat pencalonan selalu penting diuji," ujar Yance.
Ia mengatakan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tersebut seharusnya dibatalkan. Ia menyebutkan, KPU hanya bisa menggunakan aturan itu kepentingan pencalonan presiden dan wakil presiden di Pemilu 2029.
"Bukan diberlakukan retroaktif untuk Pilpres 2024," katanya. "Keputusan KPU tersebut menyebutkan data akan disimpan selama lima tahun, seakan mau memberikan keamanan kepada yang sudah terpilih."
Kritik terhadap pemberlakuan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 juga datang dari anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Deddy Sitorus. Ia menilai Keputusan KPU tersebut tidak boleh diterapkan.
"Itu melanggar hak publik untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya, (informasi) itu tidak bersifat rahasia," kata Deddy di Kompleks DPR, Jakarta, pada Senin, 15 September 2025.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengatakan pembukaan akses terhadap dokumen capres-cawapres justru merupakan bagian dari penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Ia pun menekankan bahwa semua pejabat publik seharusnya terbuka dengan informasi yang melekat pada jabatannya.
"Bisa diakses publik itu kan bentuk dari hak warga negara (agar) enggak membeli kucing dalam karung," kata dia.
Dian Rahma berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Keabsahan Ijazah Sekolah Gibran Dibawa ke Pengadilan