WAKIL Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro menegaskan bahwa pembentukan tim reformasi kepolisian tidak berkaitan dengan isu pergantian Kepala Polri yang saat ini dijabat oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Enggak (mengganti Kapolri) dong,” kata Juri di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 15 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Saat ini, Juri masih irit bicara mengenai formasi tim reformasi polri itu. Alasannya, dia masih menungguh arahan dari Presiden Prabowo Subianto. “Kalau presiden sudah menyampaikan kebijakan, nanti secara teknis seperti apa ya kita tunggu,” kata dia.
Desakan pencopotan jabatan Kapolri Jenderal Listyo Sigit kembali mencuat kala gelombang demonstrasi pada akhir Agustus dan awal September lalu. Listyo mulai menjabat sebagai Kapolri di era pemerintahan periode kedua Joko Widodo pada 2021.
Masyarakat mendesak Jenderal Listyo Sigit mundur dari jabatannya setelah seorang pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis Brimob. Insiden tragis tersebut terjadi pada demonstrasi pada Kamis, 28 Agustus 2025. Kejadian berdampak meluasnya demonstrasi yang berujung kerusuhan dengan pembakaran sejumlah fasilitas publik di beberapa daerah.
Prabowo pun disebut telah setuju untuk membentuk tim reformasi kepolisian. Kepala negara menyampaikan hal itu saat berdiskusi dengan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis, 11 September 2025.
Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI Gomar Gultom yang ikut dalam pertemuan itu mengatakan dalam pertemuan itu mereka menyampaikan kepada Presiden Prabowo perlunya mengevaluasi dan mereformasi Polri.
“Pak Presiden akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak,” kata Gultom setelah pertemuan selama tiga jam di Istana Kepresidenan.
Gultom mengatakan Prabowo sudah memiliki konsep reformasi kepolisian. Gerakan Nurani Bangsa menilai Presiden harus mengevaluasi dan menata ulang kepemimpinan Polri dan kebijakannya. Tujuannya agar kepolisian tidak lagi melakukan tindakan eksesif yang melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara lainnya.
“Jadi istilahnya gayung bersambut ya, apa yang dirumuskan teman-teman ini akan dilakukan oleh Bapak Presiden, terutama menyangkut masalah reformasi dalam bidang kepolisian tadi,” kata Gultom.
Di sisi lain, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai pembentukan Tim Reformasi Polri tak boleh berhenti pada kepentingan pergantian Kapolri. “Kalau pembentukan Tim Resformasi Polri hanya untuk mempercepat pergantian Kapolri tanpa menyentuh problem yang lebih substansial tentang organisasi Polri, itu tak lebih dari angin surga,” kata Bambang dalam keterangan tertulis, Jumat, 12 September 2025.
Meski begitu, langkah tersebut, menurut Bambang, layak didorong. Bambang berpendapat hak prerogatif presiden sudah cukup untuk mengganti Kapolri. Oleh karena itu, pembentukan tim atau komisi independen harus diarahkan untuk membenahi institusi kepolisian secara menyeluruh, bukan sekadar mencari legitimasi politik. Ia menilai langkah paling mendasar adalah merevisi Undang-Undang Kepolisian.
“Revisi UU Kepolisian ini penting sebagai dasar membangun organisasi Polri yang profesional, independen, dan akuntabel,” ujar Bambang.
Perbaikan, menurut dia, juga harus mencakup perubahan struktur dan komposisi Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas agar lebih independen.
Bambang mengingatkan reformasi kepolisian sejak terbitnya UU Nomor 2 Tahun 2002 justru menjauh dari cita-cita reformasi 1998. Menurut dia, posisi Polri langsung di bawah Presiden menimbulkan potensi besar digunakan sebagai alat kekuasaan, mirip situasi Polri di bawah ABRI pada masa Orde Baru.
Ia juga menyoroti resistensi internal Polri yang kuat terhadap perubahan mendasar. Karena itu, ia menekankan pentingnya political will Presiden dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat independen, bukan sekadar akademisi pesanan atau kelompok pro status quo.