Liputan6.com, Jakarta - Banyak anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah secara emosional, meskipun sang ayah secara fisik ada di rumah. Fenomena ini memicu masalah serius dalam pembentukan karakter dan perilaku, baik pada anak laki-laki maupun perempuan.
Kesadaran inilah yang ingin dibangun lewat acara Senam Bersama dan Lomba Senam Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) di Kementerian Pendudukan dan Pembangunan Keluarga, Jakarta Timur pada Jumat, 15 Agustus 2025. Para ayah diajak untuk lebih peduli pada isu penting yang sangat memengaruhi tumbuh kembang anak.
Pakar parenting Irwan Rinaldi, yang akrab disapa Ayah Irwan, menegaskan bahwa fatherless --- atau ayah yang hadir secara fisik tapi tidak secara psikologis --- menjadi salah satu penyebab meningkatnya perilaku berisiko pada remaja.
"Ada ayah yang ada di rumah, tapi secara psikologis nggak hadir untuk anaknya," ujar Ayah Irwan.
Menurutnya, tidak sedikit anak perempuan mencari validasi dari laki-laki lain demi memenuhi kebutuhan kasih sayangnya. Sementara itu, anak laki-laki tumbuh tanpa panduan menjadi pria yang sehat saat dewasa.
Peran Ayah di Usia Emas Anak
Irwan menggambarkan, anak perempuan ibarat memiliki “sepuluh ruangan” emosional yang seharusnya diisi ayah lewat perhatian, pujian, dan dukungan. Jika ada ruang kosong, mereka akan cenderung menerima perhatian dari pihak lain yang belum tentu baik.
"Kalau di sebuah ruangan ada 100 anak perempuan umur 16 s.d 20 tahun, maka 60 di antaranya sudah melakukan hubungan di luar nikah. Alasannya karena ada ruang tertentu yang nggak diisi ayahnya," katanya.
Ayah Irwan menekankan pentingnya masa emas keterlibatan ayah dalam pengasuhan, yakni usia 7–15 tahun. Pada periode ini, ayah menjadi personal in charge (PIC) bagi anak.
"Anak laki-laki dilaki-lakikan, anak perempuan diperempuankan. Itulah figur penting ayah," katanya.
Hadir di Momen yang Tepat
Pada usia ini, anak laki-laki belajar menjadi sosok yang tangguh dan bertanggung jawab, sementara anak perempuan belajar mengenali figur laki-laki yang sehat dari ayahnya.
Kehadiran aktif di masa ini membuat anak lebih siap menghadapi rasa takut, cemas, dan tekanan sosial di masa depan.
Jika masa emas ini terlewat, risiko anak mencari figur pengganti di luar keluarga akan semakin besar.
Ayah Irwan menegaskan bahwa menjadi ayah yang hadir bukan berarti selalu ada di rumah 24 jam. Yang terpenting adalah hadir di momen-momen penting ketika anak membutuhkan dukungan emosional.
"Hadir saat anakmu sedih, hadir. Kamu nggak harus selalu ada 24 jam, tapi hadir pada saat yang tepat," ujarnya.
Bagi anak, kehadiran seperti ini memberikan rasa aman dan membangun keterikatan emosional yang kuat. Cinta seorang ayah tidak selalu diukur dari lamanya waktu bersama, tetapi dari kualitas interaksi.
"Bahkan dua menit mendengarkan keluh kesah anak tanpa gangguan ponsel bisa memberi dampak besar. Kualitas ini sering hilang pada ayah modern karena tuntutan kerja dan distraksi teknologi," tambahnya.
Bangun Rekaman Positif pada Anak
Setiap perilaku ayah, baik kecil maupun besar, akan terekam di memori anak dan menjadi acuan ketika mereka dewasa.
"Contoh sederhananya seperti membantu mengangkat galon di rumah atau menunjukkan kasih sayang kepada istri di depan anak. Kalau anak perempuan melihat ayahnya memeluk ibunya, itu rekaman positif yang akan dia bawa saat memilih pasangan," kata Irwan.
Rekaman positif ini menjadi standar bagi anak dalam membedakan perilaku yang sehat dan yang merugikan.
Sebaliknya, jika anak melihat ayahnya bersikap kasar atau tidak peduli, rekaman negatif tersebut bisa terbawa hingga dewasa dan memengaruhi pola hubungan mereka.
Oleh karena itu, Irwan menegaskan bahwa pentingnya ayah menjadi teladan dalam perilaku sehari-hari.