TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menyatakan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu memiliki wewenang untuk menindaklanjuti penanganan pelanggaran administratif dalam perhelatan pemilihan kepala daerah.
Sebelumnya, dalam Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang tentang Pilkada, Bawaslu hanya memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus pelanggaran administratif pilkada, atau tidak selaras dengan kewenangan penanganan pelanggaran administratif di pemilu nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Putusan 55/PUU-XVII/2019 dan 85/PUU-XX/2022 menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada," kata Hakim konstitusi Ridwan Mansyur saat membacakan pertimbangan hukum putusan perkara 104/PUU-XXIII/2025, Rabu, 30 Juli 2025.
Ridwan menjelaskan, dengan tidak ada lagi perbedaan rezim pemilu, secara konstitusional semua norma dalam Pasal 22E UUD 1945 harus diberlakukan sama dalam penyelenggaraan pemilu nasional maupun pemilu daerah.
Pun, dia melanjutkan, Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3) UU Pilkada mengatur wewenang Bawaslu hanya berujung pada frasa "rekomendasi" saat menangani pelanggaran administratif pilkada, sehingga kewenangan itu amat bergantung pada tindaklanjut yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum atau KPU.
Padahal, kata dia, demi alasan menjaga keselarasan wewenangan guna mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Maka, frasa "rekomendasi" dalam norma Pasal 139 ayat (1-3) UU Pilkada harus diubah menjadi "putusan".
Begitu juga frasa "memeriksa dan memutus" pada Pasal 140 ayat (1) UU Pilkada harus dimaknai menjadi "putusan" untuk mewujudkan asas-asal pemilu sebagaimana Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
"Upaya penyelarasan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara," ujar Ridwan.
Adapun, pemohon atas nama Yusron Ashalirrohman; Roby Nurdiansyah; Yudi Pratama Putra; dan Muhammad Khairi Muslimin menilai, dalam tatanan penyelenggaraan pilkada keberlakuan pasal 139 ayat (1-3) dan Pasal 140 ayat (1) UU Pilkada selalu menjadi diskursus terkait perbedaan persepsi antara Bawaslu dan KPU ihwal tindaklanjut pelanggaran administrasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu.
Padahal, kata pemohon, pelanggaran administrasi pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan tahapan pemilihan, termasuk pilkada yang mesti diselenggarakan dengan mengemban prinsip jujur dan adil.
Masalahnya, Pasal yang mengatur kewenangan Bawaslu di dalam UU Pilkada saat ini masih menjadi kendala dalam proses penanganan pelanggaran administratif pilkada. Salah satu contohnya, Pilkada Bangka Belitung pada 2024.
Dalam kontestasi itu, KPU Bangka Belitung mengaku, tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu lantaran ketidaktegasan dan ketidakjelasan isi rekomendasi tersebut.
"Berkaitan dengan itu, seharusnya Mahkamah berpegang pada Putusan 136/PUU-XXII/2024 yang menegaskan formulasi norma hukum haruslah dibuat secara jelas, konsisten, harmonis, sinkron dan mudah dipahami serta tidak membuka ruang multitafsir dalam penyusunanya dan tidak menimbulkan ambigu dalam implementasinya," kata pemohon dalam pokok permohonannya.