Jakarta (ANTARA) - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI memandang, Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 5 persen pada bulan ini setelah menurunkannya secara berturut-turut pada Juli dan Agustus lalu.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan, hal ini dilakukan agar bank sentral dapat mengevaluasi efektivitas transmisi kebijakan moneter baru-baru ini sambil tetap terus memantau volatilitas rupiah.
Secara umum, LPEM memperkirakan bahwa inflasi ke depan tetap rendah. Sebelumnya, inflasi pada Agustus 2025 menurun menjadi 2,31 persen (yoy) atau tetap berada dalam kisaran target BI pada rentang 1,5-3,5 persen.
Namun, menurut pandangan LPEM, risiko terkait koordinasi kebijakan semakin meningkat. Meski prospek baru terkait burden sharing antara BI dan pemerintah bisa membantu meredakan tekanan fiskal, hal ini juga berpotensi menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas kerangka target inflasi BI.
Baca juga: Ekonom kompak proyeksi BI-Rate tetap 5 persen pada RDG September
“Oleh karena itu, BI perlu menyeimbangkan sikap akomodatif dengan komunikasi yang jelas, agar ekspektasi inflasi tetap terkendali dan tidak menimbulkan kesan bahwa kebijakan moneter subordinat terhadap kepentingan fiskal,” ujar Riefky.
Indonesia sempat mengalami arus modal masuk dan penguatan rupiah hingga awal September. Namun sentimen pasar berubah setelah reshuffle kabinet yang memicu arus modal keluar yang besar dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Pada 8 Agustus hingga 8 September 2025, Indonesia mencatat arus modal masuk bersih sebesar 0,46 miliar dolar AS. Namun, sentimen berubah setelah pengumuman reshuffle kabinet oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 8 September 2025, termasuk penggantian posisi Menteri Keuangan.
Baca juga: Analis nilai program stimulus dan cut-rate BI bisa angkat IHSG
Pada hari pengumuman tersebut, tercatat arus modal keluar bersih sebesar 0,25 miliar dolar AS. Arus modal keluar semakin intensif pada hari-hari berikutnya, mencapai 0,96 miliar dolar AS pada 8-11 September 2025.
“Investor bereaksi hati-hati terhadap reshuffle kabinet tersebut, menafsirkan perubahan ini sebagai sumber ketidakpastian bagi arah kebijakan fiskal di masa depan. Muncul kekhawatiran bahwa pergantian kepemimpinan dapat mengubah keseimbangan antara disiplin fiskal dan prioritas belanja,” kata Riefky.
Ia menambahkan, kekhawatiran pasar juga meningkat karena keraguan terkait pembagian beban bunga (burden sharing) antara BI dan pemerintah serta alokasi dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di sektor perbankan.
“Perkembangan ini berisiko mengaburkan prospek kebijakan, karena investor mungkin memandangnya sebagai sinyal berkurangnya independensi otoritas moneter dan batasan fiskal-moneter yang semakin kabur,” kata dia.
Sementara itu, arus modal masuk bersih pada 8 Agustus hingga 8 September 2025 turut mendukung penguatan rupiah dari Rp16.825 per dolar AS menjadi Rp16.300 per dolar AS, atau meningkat sebesar 0,09 persen (mtm).
Namun, pada 8 September 2025 atau bertepatan dengan hari pengumuman reshuffle kabinet, rupiah terdepresiasi sebesar 0,70 persen dibandingkan hari sebelumnya. Secara year to date (ytd), rupiah melemah 1,795 persen, hanya lebih baik dibanding Peso Argentina, Lira Turki, dan Rupee India.
Ke depan, pasar memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga kebijakannya pada Rapat FOMC September, yang berpotensi mendukung arus modal masuk lebih lanjut ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Dengan kondisi ini, setelah BI-Rate turun secara berturut-turut pada Juli dan Agustus, BI sebaiknya mempertahankan suku bunga pada level 5,00 persen pada RDG September 2025 untuk mengevaluasi efektivitas transmisi kebijakan terbaru sekaligus terus memantau volatilitas rupiah,” tutup Riefky.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.