
Dahulu, banyak lulus SMAN 70 Jakarta melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia (UI) via jalur Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar (PPKB). Namun, kali ini, situasi di SMAN 70 sudah berbeda.
16 Juni 2025, seharusnya menjadi hari yang spesial bagi Aji. Siswa kelas 12 itu telah menyiapkan segala hal untuk bisa tembus ke UI via PPKB.
Jurusan sudah dipilih matang, esai telah dikonsultasikan, nilai rapor stabil. Singkatnya, semua terasa on track. Namun, nyatanya, ia ditolak masuk UI. Ia ingin masuk jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
“Jadi, waktu awal daftar PPKB ini saya ngerasa lumayan tenang dan pede, apalagi alumni tahun sebelumnya banyak yang lolos PPKB bahkan di jurusan yang saya pilih. Namun, setelah membuka pengumuman agak kaget juga ternyata hasilnya ketolak,” ujar Aji (18) saat dihubungi kumparan, Kamis (19/6).
Keyakinan Aji bukan tanpa dasar. Dari tahun ke tahun, SMAN 70 dikenal sebagai salah satu ‘pemasok’ mahasiswa ke UI.
Ia menyebut, di laman resmi PPKB UI dijelaskan bahwa seleksi mempertimbangkan ‘performance sekolah’ serta kuota program studi. Maka, saat hasil yang keluar justru nol siswa diterima, Aji dan teman-temannya hanya bisa terpaku.
“Padahal di laman PPKB tertera kalau ‘Proses seleksi dilakukan berdasarkan perfomance sekolah (prestasi alumninya di UI) dan kuota dari masing-masing prodi’, walaupun perubahannya mendadak sekali ya,” jelas Aji.
“Setelah itu saya mencoba menerima kalau mungkin ini bukan rezeki saya aja, berarti saya harus lebih berusaha lagi,” ujarnya pasrah.

Kekecewaan serupa juga disampaikan teman satu sekolahnya, Umar (19). Ia tak hanya kecewa, tapi juga kesal.
Menurutnya, persoalan bukan pada usaha mereka, melainkan pada sistem yang berubah tiba-tiba.
“Perasaan saya nggak keterima PPKB itu sebenarnya kesel. Karena apa? Karena saya dan banyak juga teman-teman saya tuh menyadari nggak keterimanya bukan karena nilai kami jelek, bukan karena kami nggak punya sertifikat, atau bukan karena kami asal-asal nulis esai,” kata Umar pada Kamis (19/6).
“Tapi kami tahu bahwasanya kami tuh istilahnya digagalkan karena kebijakan baru ini dari UI,” lanjutnya.
Menurut Umar, sejak awal informasi yang disampaikan UI ke siswa melalui web tidak menyebutkan adanya perubahan sistem. Mereka tetap mengacu pada mekanisme lama yang mempertimbangkan rekam jejak sekolah.
Namun, menjelang pengumuman, guru-guru mereka baru diberi tahu bahwa kini seleksi berbasis pemerataan wilayah, dengan pendekatan kebijakan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
“Kalau UI mau main fair-fairan, kasih tahu dong juga di webnya sebelum buka pendaftarannya, jangan ketika kami sudah mendaftar, kami sudah submit, sudah bayar 850 ribu, kami malah istilahnya di-prank gitu,” tegas Umar.
“Kita juga sadar diri, kalau kebijakan 3T ini diberlakukan dari awal gitu ya. Kami juga kemungkinan besar tidak akan mendaftar karena ya letak geografi sekolah kami di tengah kota terus juga DKI gitu kan. Kami akan tahu diri juga untuk tidak mengambil porsi 3T ini,” jelasnya.

Disiapkan Matang, tapi Harapan Pupus di Tengah Jalan
Umar dan Aji adalah contoh dari siswa yang serius mempersiapkan diri. Dari bimbingan akademik, pendampingan penulisan esai, hingga diskusi intensif dengan alumni, semua mereka lakukan.
“Kami hampir setiap hari ada di ruang BK, konsultasi esai, tema esainya mau apa, studi kasusnya juga apa. Bahkan saya sendiri juga berkonsultasi di sana, dan juga dukungan dari alumni-alumninya juga sangat peduli kepada kami,” ujar Umar.
Di sisi lain, menurut Aji, sekolah sangat mendukung langkah siswa dalam setiap jalur masuk kampus. Bimbingan dilakukan sejak SNBP hingga SNBT dan PPKB, termasuk pendataan akun dan penyusunan portofolio akademik.
“Dari awal proses seleksi masuk perguruan tinggi seperti SNBP, sekolah sangat membimbing dan memperhatikan langkah murid-muridnya untuk memilih jurusan dan universitas impian,” kata Aji.
“Dalam proses seleksi PPKB, sekolah juga menyediakan layanan konsultasi ke BK atau guru mata pelajaran, dan guru bahasa Indonesia untuk membantu menyiapkan esai yang berkualitas, sejauh ini sekolah sangat mendukung anak-anaknya untuk memperoleh kampus impian,” lanjutnya.
Namun, dukungan sekolah tak bisa menahan kecewa yang datang. Umar menyebut bahwa meskipun mereka tidak menyalahkan guru, para siswa tetap menuntut penjelasan dari UI.
“Kita satu sekolah sangat kecewa dan nuntut kejelasan dari UI sendiri,” ungkapnya.

Di Balik Perubahan Skema PPKB UI
Tudingan para siswa bukan tanpa dasar. Universitas Indonesia, melalui Plh Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional Emir Chairullah, mengkonfirmasi adanya perubahan sistem. UI tahun ini mengurangi bobot faktor ‘sekolah favorit’ dalam seleksi PPKB demi prinsip pemerataan.
“Jika sebelumnya faktor penghitung PPKB itu faktor sekolah. Tahun ini sudah tidak ada status favorit lagi, itu semacam dihilangkan,” jelas Emir.
Menurutnya, perubahan ini bertujuan membuka akses yang lebih luas bagi siswa berprestasi dari berbagai wilayah. Jumlah sekolah asal penerima PPKB naik dari 445 menjadi 581, dan wilayah asal dari 90 menjadi 143 kabupaten/kota.
Namun perubahan ini tidak disosialisasikan sejak awal ke publik luas, termasuk ke sekolah-sekolah top di Jakarta seperti SMAN 70.

Masih Ada Harapan di SIMAK
Meski sempat terpukul, baik Aji maupun Umar tidak menyerah. Aji berencana mendaftar kembali ke UI lewat jalur SIMAK.
“Saya masih bertekad untuk mengejar universitas impian tersebut, oleh karena itu saya juga mendaftar di SIMAK UI 2025,” ujar Aji.
Umar, meski sudah diterima di kampus lain, tetap menyimpan niat yang sama.
“Nah, untuk daftar lagi alhamdulillah untuk saya sendiri telah diterima di Universitas Brawijaya Jalur Seleksi Mandiri Rapor gitu ya tahun 2025,” jelas Umar.
“Untuk memperjuangkan UI sih insya Allah, saya daftar SIMAK lagi tahun ini gitu ya karena ya mimpi kan nggak boleh mati ya,” katanya.
Meski sistem berubah, dan jalur mereka tertutup tanpa peringatan, keduanya memilih untuk melanjutkan perjuangan.
Bagi mereka, ini bukan akhir dari segalanya. Hanya titik koma dalam perjalanan menuju kampus impian.