Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) yang ramai di pusat perbelanjaan bukan sinyal kegagalan ritel konvensional. Sebaliknya, Kemendag justru menilai tren tersebut sebagai bagian dari perubahan perilaku konsumen dan peluang untuk memperkuat strategi omnichannel bagi pelaku ritel.
"Fenomena Rojali ini kurang tepat jika dikatakan sebagai efek kegagalan strategi ritel konvensional. Justru saat ini perubahan pola konsumsi masyarakat menjadikan mal tidak hanya sebagai tempat berbelanja, melainkan juga sebagai ruang publik dan tempat rekreasi," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Iqbal Shoffan Shofwan saat ditemui di Kemendag, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Menurut Iqbal, pergeseran ini bisa dimanfaatkan pusat perbelanjaan untuk menyesuaikan strategi bisnis, misalnya dengan lebih banyak menghadirkan penyewa dari sektor gaya hidup dan makanan-minuman (FnB).
Iqbal juga menyebut, kunjungan masyarakat yang tampak sekadar jalan-jalan bisa jadi merupakan bentuk showrooming, yakni melihat-lihat barang secara fisik sebelum membeli secara online.
"Bisa jadi memang para Rojali ini sebenarnya juga sedang showrooming, jadi jalan-jalan sambil bersosialisasi, sembari melihat kondisi fisik barang yang mau dibeli, seperti cek ukuran, kecocokan model saat dipakai, dan sejenisnya, baru kemudian check-out lewat loka pasar," ujarnya.
Selain itu, meski tidak belanja barang, transaksi sektor FnB justru menunjukkan peningkatan. "Jadi memang nampak masyarakat hanya 'nongkrong' di mal, tapi sebenarnya mereka sedang melakukan konsumsi, hanya berbeda produknya saja," ucap dia.
Foto: Sejumlah pengujung melintas di salah satu mal di kawasan Jakarta Selatan, Senin, (28/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sejumlah pengujung melintas di salah satu mal di kawasan Jakarta Selatan, Senin, (28/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Omnichannel Jadi Kunci Adaptasi
Kemendag menyebut, saat ini banyak pelaku usaha ritel telah menerapkan strategi omnichannel. "Pedagang itu sekarang menjual barangnya tidak hanya secara fisik di toko. Mereka juga live di channel seperti TikTok atau tergabung dalam platform-platform digital," jelas Iqbal.
Dengan cara ini, pembeli bisa melihat barang secara online, bahkan memesan tanpa harus datang langsung. Hal ini juga yang membuat transaksi di pusat perbelanjaan tetap berjalan meskipun traffic pengunjung fisik menurun di beberapa tempat.
Ia mencontohkan ITC Mangga Dua dan Thamrin City yang kini mulai menyesuaikan diri. "Mereka sudah menyediakan tidak hanya tempat makan, sudah ada area bermain, kemudian area-area leisure lain yang tujuannya adalah untuk traffic. Traffic ini penting," katanya.
"Kalau ada kafe-kafe, dia pasti spending di situ. Walaupun nongkrongnya 2 jam, yang penting ada pengeluaran," imbuh dia.
Kemendag menegaskan, indikator utama keberhasilan ritel bukan semata traffic, tapi transaksi. "Kita konfirmasi ke Thamrin City, ternyata 60-70% pedagang di sana sudah menggunakan omnichannel dan transaksinya oke-oke saja," jelas Iqbal.
Bahkan menurut pengelola Thamrin City, lanjutnya, pelaku usaha di sana tetap menerima pesanan dari berbagai daerah meski pembeli tidak lagi datang langsung. "Dulunya orang dari Bangka atau Bukittinggi datang langsung. Sekarang mereka bisa lihat live. Transaksi tetap jalan," kata dia.
Lebih lanjut, Iqbal menyampaikan bahwa perhatian utama Kemendag bukan pada ramainya lalu lintas pengunjung semata, melainkan apakah pedagang tetap bisa menikmati transaksi dan pendapatan.
"Kalau masalah traffic itu bukan berarti tidak penting, tapi bukan menjadi perhatian utama. Yang menjadi perhatian utama kita itu transaksi yang dinikmati oleh pedagang," pungkasnya.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Fenomena 'Rojali' di Mal RI, Efek Warga Menengah Atas 'Hati-Hati'