
Eks hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan, dihadirkan menjadi ahli dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku, yang menjerat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa.
Ia dihadirkan oleh kubu Hasto untuk didengarkan keterangannya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/6).
Dalam keterangannya, Maruarar menyinggung ihwal legalitas perolehan alat bukti dalam suatu perkara. Mulanya, penasihat hukum Hasto, Febri Diansyah, menanyakan pendapat Maruarar terkait penggeledahan terhadap seseorang yang bukan ditetapkan sebagai tersangka.
"Ini prosesnya kan kalau bukan terhadap tersangka jadi tidak sah begitu, benar, ya, Saudara ahli? Apa konsekuensi terhadap barang milik pribadi orang lain yang disita secara tidak sah? Apa konsekuensi hukumnya itu Saudara ahli?" tanya Febri dalam persidangan, Kamis (19/6).

Maruarar pun menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah tegas menyatakan alat bukti yang boleh diajukan di sidang adalah yang diperoleh secara sah.
"Jadi kalau di Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi secara tegas sebenarnya dikatakan setiap alat bukti yang boleh diajukan di sidang itu adalah yang diperoleh dengan cara-cara yang sah," tutur Maruarar.
"Jadi kalau sebenernya ini dibutuhkan dalam KUHAP sebenarnya, tetapi sampai kepada Mahkamah Konstitusi, kalau ada Pemohon atau siapa pun mengajukan alat bukti dalam mendukung dalilnya, tapi dia peroleh dengan cara mencuri alat bukti itu, itu tidak boleh," paparnya.
Dalam kesempatan itu, Maruarar mengibaratkan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah layaknya pohon beracun.
"Alat bukti yang diperoleh tidak sah yang melanggar aturan itu tidak boleh dipergunakan. Exclusionary, tidak boleh dipakai dan kalau itu dipakai itulah yang menjadi buah pohon beracun," ujar Maruarar.
Menurut dia, penggunaan alat bukti yang tidak sah tersebut di persidangan justru merusak validitas dan keadilan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
"Semua prosesnya itu akan beracun, the poison of tree, the fruit of the poison tree. Tidak bisa dipakai kalau kita ambil acuannya seperti itu," ucap dia.
"Kalau kita makan itu buah beracun barangkali kita mati begitu. Jadi, ini dalam proses itu, proses itu menjadi mati atau tidak sah," imbuhnya.
Dalam persidangan itu, Maruarar juga menjelaskan terkait dengan Pasal 21 UU Tipikor atau pasal perintangan penyidikan. Hasto turut didakwa dengan perbuatan tersebut.
Menurutnya, penggunaan pasal perintangan tersebut tidak boleh digunakan untuk tahap penyelidikan.
Mulanya, penasihat hukum Hasto lainnya, Maqdir Ismail, menanyakan kepada Maruarar terkait penerapan pasal perintangan tersebut terhadap kliennya.
"Pertanyaan saya kepada Saudara ahli, ketika di dalam original intent seperti tadi, tidak ada pembicaraan tentang itu, dan kemudian ketika dituangkan di dalam rumusan pasal, juga tidak menyebut penyelidikan. Apakah boleh ditafsirkan bahwa penyelidikan itu masuk dalam apa yang dimaksud oleh Pasal 21 ini?" tanya Maqdir Ismail.
Maruarar kemudian menjelaskan bahwa ada tiga karakteristik dalam hukum pidana, yaitu lex stricta atau harus ketat dan terbatas, lex certa atau harus jelas dan tidak ambigu, serta lex scripta atau harus tertulis.
Ia menyebut bahwa hukum pidana adalah suatu hal yang tidak memperkenankan penafsiran sendiri secara ekstensif atau analogis.
"Oleh karena itu, kalau tegas sudah ditulis norma itu, tidak ada interpretasi yang kita bisa cari untuk membenarkan bisa diperluas atau dia bisa dipersingkat, tetapi lex certa harus menjadi suatu kepastian sehingga secara stricta atau ketat itu mencegah suatu tafsir yang menghendaki keadaan seperti itu," ucap Maruarar.
Maruarar pun menyinggung ihwal pasal yang ditafsir tentang penyidikan dan penyelidikan yang dipisahkan secara tegas.
"Oleh karena itu, penyelidikan menjadi sesuatu yang tegas dikatakan terpisah, tafsir-tafsir yang memperterangkan itu, itu tidak sesuai karakter daripada hukum pidana sebagai suatu lex stricta, tafsir itu tidak diperkenankan," terang dia.
Maqdir pun mengkonfirmasi dan meminta penegasan dari Maruarar terkait penjelasannya tersebut.
"Jadi, tegasnya adalah bahwa Pasal 21 ini menurut Saudara ahli, tidak bisa ditafsirkan bahwa pada proses penyelidikan, orang bisa dipidana karena melanggar Pasal 21 ini?" tanya Maqdir.
"Ya saya kira kalau ditafsirkan menjadi, yang ditentukan di sini adalah penyidikan, tetapi diterapkan untuk penyelidikan, ini merupakan suatu perluasan yang tadi dikatakan penafsiran ekstensif," jawab Maruarar.
"Seperti itu bertentangan dengan karakteristik hukum pidana sebagai suatu lex stricta, lex stricta dan apa yang tertulis atau lex scripta, saya kira tidak diperkenankan," pungkasnya.
Kasus Hasto

Dalam kasusnya, Hasto didakwa menyuap komisioner KPU RI dalam proses Pergantian Antarwaktu (PAW) dan merintangi penyidikan kasus Harun Masiku.
Dalam perkara dugaan suap, Hasto disebut menjadi pihak yang turut menyokong dana. Suap diduga dilakukan agar Harun ditetapkan sebagai anggota DPR melalui proses PAW.
Caranya, adalah dengan menyuap komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan. Nilai suapnya mencapai Rp 600 juta.
Suap itu diduga dilakukan oleh Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Harun Masiku, dan Saeful Bahri. Suap kemudian diberikan kepada Agustiani Tio dan juga Wahyu Setiawan.
Sementara itu, terkait dengan perkara dugaan perintangan penyidikan, Hasto disebut melakukan serangkaian upaya seperti mengumpulkan beberapa saksi terkait Masiku dengan mengarahkan para saksi itu agar tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.
Tidak hanya itu, pada saat proses tangkap tangan terhadap Masiku, Hasto memerintahkan Nur Hasan—seorang penjaga rumah yang biasa digunakan sebagai kantornya—untuk menelepon Masiku supaya merendam HP-nya dalam air dan segera melarikan diri.
Kemudian, pada 6 Juni 2024, atau 4 hari sebelum Hasto diperiksa sebagai saksi terkait Masiku, ia juga memerintahkan stafnya yang bernama Kusnadi untuk menenggelamkan HP milik Kusnadi agar tidak ditemukan oleh KPK.