Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas pabrik China secara tak terduga mengalami kontraksi pada bulan Juli untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, menambah bukti bahwa pemulihan ekonomi pasca-pandemi kehilangan momentum dan meningkatkan tekanan pada para pembuat kebijakan untuk memberikan stimulus baru guna menopang pertumbuhan. Data yang lemah ini mengirimkan sinyal kewaspadaan ke seluruh pasar global, yang sangat bergantung pada China sebagai motor permintaan utama.
Biro Statistik Nasional (NBS) mengumumkan pada hari Kamis (31/7/2025) Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur resmi turun menjadi 49,3 pada Juli, dari 49,7 pada Juni. Angka tersebut meleset dari perkiraan para analis dan jatuh di bawah ambang batas 50 poin yang memisahkan ekspansi dari kontraksi. Ini adalah pembacaan terlemah sejak April.
Pelemahan ini pertama didorong oleh permintaan yang lesu di domestik. NBS mengaitkan penurunan PMI manufaktur pada bulan Juli dengan kondisi di luar musim yang biasa terjadi dan faktor-faktor seperti panas ekstrem dan hujan deras di beberapa wilayah negara tersebut.
Dalam salah satu kasus cuaca ekstrem terbaru, setidaknya 30 orang tewas minggu ini di pinggiran Beijing setelah kota tersebut mengeluarkan peringatan merah tingkat tertinggi untuk hujan lebat.
"PMI manufaktur menampilkan output yang lebih rendah, inventaris yang lebih rendah, tetapi sub-indeks harga yang lebih tinggi, sementara PMI konstruksi turun terutama karena suhu tinggi dan curah hujan yang tinggi," ujar analis Goldman Sachs.
Selain itu, ada pelemahan ekspor luar negeri. Meski telah berhasil menahan laju ekspor di tengah tarif Amerika Serikat (AS), perpindahan sejumlah pusat produksi ke negara-negara dengan tarif lebih rendah terus membebani laju ekonomi Negeri Panda
"PMI lebih rendah karena tantangan cuaca, serta pengalihan beberapa pesanan ke negara-negara dengan tarif lebih rendah seperti Vietnam," kata Cameron Johnson, mitra senior di firma konsultan Tidalwave Solutions yang berbasis di Shanghai.
Tanda-Tanda Perlambatan di Paruh Kedua
PMI non-manufaktur resmi, yang mengukur aktivitas di sektor jasa seperti pariwisata, turun menjadi 50,1 pada bulan Juli, turun dari 50,5 pada bulan Juni, menurut rilis data hari Kamis.
"Penurunan PMI manufaktur dan jasa untuk bulan Juli sejalan dengan ekspektasi perlambatan pertumbuhan di paruh kedua tahun ini, karena PDB dalam enam bulan pertama terutama didukung oleh peningkatan pesanan bisnis menjelang ketidakpastian tarif," kata Qin Yong, kepala ekonom di departemen keuangan Sumitomo Mitsui Banking Corporation (China).
"Insentif bagi bisnis untuk meningkatkan pesanan lagi, terlepas dari hasil perundingan perdagangan. Jadi, dampak tarif terhadap ekonomi China akan menjadi sangat jelas mulai Agustus dan seterusnya, mengingat PMI untuk bulan Juli, saya rasa ada beberapa situasi yang sangat mengkhawatirkan saat ini."
Dalam rapat tingkat tinggi Politbiro pada hari Rabu, para pemimpin tinggi China tidak mengisyaratkan rencana stimulus baru yang substansial, meskipun negara tersebut telah meningkatkan subsidi untuk mendorong masyarakat memiliki lebih banyak anak.
Mereka menunjukkan bahwa hasil rapat tersebut tidak menyebutkan adanya penurunan suku bunga dan hanya memberikan sedikit indikasi dukungan tambahan terhadap pasar properti, sekaligus menekankan risiko utang pemerintah daerah.
"Jika AS dan China dapat memperpanjang gencatan senjata perdagangan, hal itu kemungkinan akan mengurangi keinginan Pemerintah China untuk meningkatkan dukungan kebijakan bagi perekonomian," ungkap analis Bank of America dalam sebuah laporan pada hari Rabu tentang rapat Politbiro tersebut.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: RI Cetak Rekor PMI Saat Dihantam Badai PHK, Kok Bisa?