
Perdagangan sapi di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai mengalami pergeseran. Tidak lagi sepenuhnya mengandalkan pasar hewan, sejumlah pedagang kini memanfaatkan platform digital seperti marketplace dan media sosial untuk menjual ternaknya.
Kepala UPT Pasar Hewan Ambarketawang, Yuda Adi Nugroho, menyebut bahwa perubahan ini berlangsung secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir. Ia mengamati munculnya pola baru dalam penjualan sapi, salah satunya melalui platform daring.
“Beberapa pedagang mulai berjualan online. Ada juga yang buka di Lazada. Jualan online ada, ya walaupun itu juga risikonya. Risiko tinggi,” kata Yuda saat ditemui Pandangan Jogja di kantornya, Rabu (4/6).
Menurutnya, sistem transaksi secara online membuka peluang baru namun juga menyimpan tantangan, terutama soal kualitas hewan yang tidak bisa diawasi secara langsung. “Kalau secara online, kami langsung orang Jakarta, pesan di Jogja pikirnya wah ini bagus. Kirim,” ujarnya.

Yuda juga menjelaskan bahwa pasar kini tidak lagi menjadi pusat transaksi utama seperti dulu. Para pedagang banyak yang hanya membawa beberapa ekor sapi sebagai contoh (sampel), sementara stok ternak sebenarnya tetap disimpan di rumah atau kandang masing-masing.
“Pedagang itu ke pasar bukan hanya sekadar pertama memantau harga. Kedua, ya istilahnya orang sesama pedagang itu silaturahmi. Yang ketiga juga menawarkan barang. Tapi dia punya stok banyak di rumah. Rumah itu semua kayak swalayan. Dia sekadar hanya menawarkan barang, sample,” jelasnya.
Data dari UPT Pasar Hewan Ambarketawang menunjukkan fluktuasi jumlah sapi yang masuk pasar dalam lima tahun terakhir. Tahun 2020 tercatat 16.903 ekor sapi masuk pasar, naik menjadi 19.322 pada 2021, dan sedikit naik lagi menjadi 19.409 pada 2022. Tahun 2023 mengalami penurunan menjadi 18.818, kemudian meningkat menjadi 20.138 pada 2024. Sementara hingga pertengahan 2025, tercatat baru 6.959 ekor sapi yang masuk.

Penelusuran Pandangan Jogja melalui platform Tokopedia mengonfirmasi pernyataan Yuda. Ditemukan sejumlah pedagang dari wilayah DIY yang memasang foto dan harga sapi di marketplace tersebut. Salah satu akun bahkan menawarkan seekor sapi seharga Rp94,5 juta dan menyebut stok masih tersedia.
Selain itu, informasi yang dihimpun dari sejumlah pedagang di Pasar Hewan Ambarketawang juga memperkuat pengakuan Yuda. Setidaknya tiga pedagang menyebut bahwa mereka memang hanya membawa satu atau dua sapi ke pasar sebagai sampel, sementara sapi-sapi lainnya tetap berada di rumah atau kandang.
Pergeseran ini menunjukkan bahwa perdagangan ternak di DIY turut menyesuaikan dengan perkembangan zaman, di mana digitalisasi turut memengaruhi pola interaksi jual beli, bahkan dalam sektor tradisional seperti peternakan.