
Peredaran rokok ilegal yang makin marak bikin industri rokok legal makin tertekan. Padahal, sektor ini selama bertahun-tahun jadi penyumbang besar buat penerimaan negara.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Harris Turino, menyebut kontribusi cukai hasil tembakau (CHT) pada 2024 mencapai Rp 216,9 triliun. Angka itu jauh lebih tinggi dari dividen BUMN yang cuma Rp 80 triliun.
Tapi ironisnya, banyak pabrik rokok legal justru kesulitan. Dalam dua hingga tiga tahun terakhir, pendapatan perusahaan rokok besar terus menurun. Salah satu sebabnya adalah maraknya rokok ilegal.
“Keberadaan rokok ilegal bukan hanya mencederai keadilan usaha, tetapi secara langsung menggerus industri legal yang patuh aturan dan berkontribusi besar pada penerimaan negara,” kata Harris kepada kumparan, Kamis (19/6).
Harris mengungkapkan, masalah ini muncul karena kenaikan cukai yang cukup tinggi sejak 2019. Akibatnya, masyarakat banyak yang beralih ke rokok yang lebih murah, seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT). Di sisi lain, rokok ilegal dengan harga jauh lebih murah juga makin mudah ditemukan di lapangan.
“Meski data resmi menyebutkan proporsi rokok ilegal sekitar 6,9 persen, realita di lapangan menunjukkan angka yang jauh lebih besar,” ujarnya.
Harris mengaku prihatin karena keberadaan rokok ilegal bukan hanya merugikan negara. Tetapi juga membahayakan jutaan buruh pabrik rokok yang legal.
Dalam kunjungan kerja ke pabrik rokok SKT milik HM Sampoerna di Tegal, ia sempat mendapat pesan menyentuh dari seorang buruh linting.
“Seorang buruh linting perempuan menggenggam tangan saya erat dan berkata dengan suara bergetar, ‘Pak, bantu kami selamatkan industri ini. Kami dan jutaan pekerja rokok legal di seluruh Indonesia hanya bisa berharap dari orang-orang yang peduli,’” kata Harris.
Ia mendesak Dirjen Bea dan Cukai yang baru, Djaka Budhi Utama, untuk menempatkan pemberantasan rokok ilegal sebagai prioritas. Harris yakin, dengan latar belakang militer, Djaka bisa bertindak tegas.
“Saya percaya beliau tidak akan gentar menghadapi siapa pun yang berada di balik bisnis kotor ini,” ujar Harris.
Buat Harris, menjaga industri rokok legal bukan berarti mendukung konsumsi rokok, tapi soal keadilan. Negara sudah menarik cukai, maka produsen yang patuh seharusnya dilindungi dari praktik curang.
Berdasarkan data Direktur Jenderal Bea dan Cukai, penerimaan negara dari CHT mencapai Rp 87 triliun. Angka tersebut merupakan akumulasi penerimaan dari Januari hingga Mei 2025.
“Penerimaan cukai hasil tembakau Rp 87,01 triliun atau sebesar 37,82 persen dari target senilai Rp 230,09 triliun,” kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto kepada kumparan, Kamis (19/6).
Secara keseluruhan, penerimaan kepabeanan dan cukai tumbuh sebesar 12,6 persen secara tahunan (year on year/yoy) dengan nilai Rp 122,9 triliun per akhir Mei 2025. Angka tersebut setara 40,7 persen dari target dalam APBN 2025.

Direktur Jenderal Bea Cukai, Djaka Budhi Utama, mengatakan untuk mengatasi peredaran rokok ilegal, pemerintah akan terus melakukan operasi secara serentak di seluruh wilayah Indonesia.
"Insyaallah saya akan melakukan membentuk satgas pencegahan rokok ilegal dan cukai rokok," ungkap Djaka saat konferensi pers APBN KITA 2025, Selasa (17/6).
Djaka memaparkan, penindakan rokok ilegal di Indonesia sepanjang tahun 2025 menurun sebesar 13,2 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024.
Namun secara kualitas, lanjut dia, terjadi kenaikan jumlah batang rokok ilegal yang ditindak, yakni mencapai sekitar 285,81 juta, terjadi kenaikan 32 persen dari periode yang sama tahun lalu.
"Kurang lebih tentunya dengan kenaikan kualitas dari penindakan tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah barang yang dicegah dari setiap penindakan," jelas Djaka.