
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi RUU Pemilu yang terdiri dari 30 organisasi seperti Perludem, Pusako FH Universitas Andalas, Puskapol UI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Netgrit, ICW, PSHK, Themis Indonesia meluncurkan naskah usulan kodifikasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sebagai inisiatif reformasi menyeluruh terhadap sistem kepemiluan Indonesia.
Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama menjelaskan bahwa naskah kodifikasi ini dibagi dalam empat dimensi besar yaitu sistem pemilu, aktor pemilu, manajemen tahapan, dan penegakan hukum pemilu.
“Dalam penyusunannya, kami membagi ke dalam enam buku: sistem, aktor, manajemen, hukum, sanksi, dan penutup,” jelasnya dalam Seminar Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan pada hari ini.
Heroik menjelaskan pada dimensi sistem, masyarakat sipil mengusulkan perubahan mendasar terhadap desain pelaksanaan keserentakan pemilu. “Kami merekomendasikan pemilu nasional dan pemilu daerah dipisah dua tahun. Jadi, pemilu presiden, DPR, dan DPD diselenggarakan terlebih dahulu, lalu dua tahun berikutnya baru pemilu kepala daerah dan DPRD,” jelas Heroik.
Sistem Pemilu Campuran
Dalam usulan kodifikasi, Perludem juga merekomendasikan sistem pemilu campuran (Mixed Member Proportional atau MMP) untuk menggantikan sistem proporsional terbuka saat ini.
“Kami tidak lagi menggunakan daftar terbuka penuh. Usulannya, setiap pemilih akan mendapat dua suara, satu untuk partai dan satu untuk calon di daerahnya,” ujar Heroik.
Model ini, menurutnya, akan menjaga keseimbangan antara aspek kelembagaan partai dan kualitas individu calon. “Sistem mixed member proportional memberi insentif pada partai untuk lebih berlembaga, tetapi juga tetap memberi ruang bagi calon untuk berkompetisi secara sehat,” jelas Heoik.
Heroik menambahkan, rancangan tersebut mengadopsi model seperti di Jerman. Dimana dalam surat suara nanti pada sebelah kiri ada logo partai dan di sebelah kanan ada nama sehingga calon pemilih bisa memilih keduanya.
Selain itu, ia mengusulkan agar sistem proporsional tertutup diterapkan di tingkat provinsi, bukan nasional. Tujuannya lanjut Heroik, agar representasi politik lebih sesuai dengan wilayah administrasi dan karakter kepulauan Indonesia.
“Sedangkan unsur first-past-the-post atau daerah pemilihan tunggal bisa diterapkan di kabupaten atau kota,” tambahnya.
Terkait ambang batas parlemen (parliamentary threshold), Heroik menyebut masyarakat sipil mengusulkan untuk menghapus ketentuan 4% dan menggantinya dengan ambang batas efektif sesuai jumlah kursi di setiap daerah pemilihan. “Prinsipnya, kalau partai sudah mendapatkan satu kursi, dia berhak duduk di DPR. Suara rakyat tidak boleh terbuang sia-sia,” tegasnya.(P-1)